Selasa, 11 Januari 2011

DIMANA ALLAH......Kemanakah aku arahkan tanganku semasa memohon kepada Allah ?



Salam para pembaca yang budiman. Diharap semuanya dalam keadaan sehat walafiat dan dalam keaadaan bahagia hendaknya.

Fakir terjumpa satu rencana yang fakir sangat suka membacanya. Fakir rasa isi kandungan artikel ini elok sangat kita kongsi bersama . Terimakasih kepada penulis yang bernama dr. Abu Raihan Al Banjari, MKes, SpPD, Dosen Fakultas Kedokteran UNLAM, Indonesia tentunya.

Selamat membaca mudah2an mendapat munafaat . Amin.

Fakirabdillah.

......................................................................

DI MANAKAH ALLAH?
ABU RAIHAN AL BANJARI

Pertanyaan tentang keberadaan dan di mana Allah sering kali mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan. Padahal hal tersebut merupakan pertanyaan fitrah seluruh manusia, Allah Maha Tahu sehingga memberikan jawaban atas pertanyaan hamba-hamba-Nya melalui Rasulullah.

Firman Allah dalam Al Qur’an me-nunjukkan Allah berada “sangat dekat” sebagaimana surat Al Baqarah, 2 ayat 186, dan Al Qaaf, 50 ayat 16:

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. Al Baqarah, 2: 186)

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya”. (QS. Al Qaaf, 50: 16)

Ayat-ayat tersebut mengungkapkan keberadaan Allah sebagai “wujud” yang sangat dekat, dan kita diajak untuk memahami pernyataan tersebut secara utuh.

Al Qur’an mengungkapkan jawaban secara dimensional dan dilihat dari perspektif seluruh sisi pandangan manusia seutuhnya.

Sangat jelas bahwa Allah menyebut dirinya :-

“Aku” berada meliputi segala sesuatu di surat Al Fushshilaat, 41 ayat 54, yang dilanjutkan surat Al Baqarah, 2 ayat 115 “… di mana saja engkau menghadap, di situ wajah-Ku (wujud-Ku) berada!”.

“Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu”. (QS. Al Fushshilaat, 41: 54)

“Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al Baqarah, 2: 115)

Allah tidak bisa ditasybihkan (diserupakan) dengan makhluk-Nya, sehingga masyarakat awam tidak boleh mentasybihkan wujud Allah dengan apa yang terlintas di dalam pikirannya ataupun perasaannya. Sehingga Allah sebagai wujud sejati ditafsirkan dengan sifat-sifat-Nya yang meliputi segala sesuatu.

Kalau Allah ditafsirkan dengan sifat-sifat-Nya yang meliputi segala sesuatu, akan timbul pertanyaan, kepada apa-Nya kita menyembah? Apakah kepada ilmu-Nya, kepada kekuasaan-Nya atau kepada wujud-Nya?

Apabila dijawab kepada kekuasaan-Nya atau kepada ilmu-Nya, maka bertentangan dengan firman Allah:

“Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku”. (QS. At Thoha, 20: 14)

Ayat tersebut menyebutkan kalimat “…sembahlah Aku”, yang menunjukkan bahwa manusia diperintahkan menghadapkan wajahnya kepada wajah zat yang maha mutlak. Kita akan bersimpuh di hadapan sosoknya yang sangat dekat, seperti tercantum dalam firman Allah:

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang men-ciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. Al An’am, 6: 79)

Kenyataan bahwa Tuhan tidak bisa dikenal dan diketahui, berasal dari penegasan dasar tauhid laa ilaha illallah atau laisa ka mistlihi syai’un (tidak sama dengan sesuatu). Karena Tuhan secara mutlak dan tak terbatas benar-benar zat yang Maha Tinggi, sementara kosmos berikut segala isinya hanya secara relatif bersifat hakiki, maka realitas Ilahi berada jauh di luar pemahaman realitas makhluk, zat yang Maha Mutlak dan tidak bisa dijangkau oleh yang relatif.

Ungkapan tentang Tuhan, juga disebut sebagai dalil pertama yang menyinggung hubungan antara zat, sifat dan perbuatan (af’al) Allah. Diterangkan bahwa zat meliputi sifat, sifat menyertai nama, nama menandai af’al.

Hubungan-hubungan ini bisa diumpamakan seperti madu dengan rasa manisnya, pasti tidak dapat dipisahkan. Sifat menyertai nama, ibarat matahari dengan sinarnya, pasti tidak bisa dipisahkan. Nama menandai perbuatan, seumpama cermin, orang yang becermin dengan bayangannya, pasti segala tingkah laku yang becermin akan diikuti oleh bayangannya.

Sifat, nama dan af’al secara relatif bisa dirasakan dan difahami “maknanya”, akan tetapi ‘Zat” adalah realitas mutlak, dan untuk memahami-Nya secara hakiki harus mampu memfanakan diri yaitu memahami bahwa keberadaan makhluk adalah tiada.

Setelah mengetahui dan mengenal Allah secara ilmu, maka semakin mudah bagi kita untuk memulai berkomunikasi dan berjalan menuju kepada-Nya.

Subhanallah wa bi hamdi.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan