PENGANTAR kepeda MEMAHAMI
PEMIKIRAN IBNU ARABI
Oleh Machnun Husein
Oleh Machnun Husein
Riwayat Hidup
Singkat
Ibnu ‘Arabi, yang nama lengkapnya adalah Abu Bakr ibnu ‘Ali Muhyiddin al-Hatimi at-Ta‘i al-Andalusi, diahirkan di Murcia, Sepanyol Tenggara, pada tanggal 17 Ramadan 560 H/28 Juli 1165 M. Di wilayah Islam bagian timur khususnya, dia dikenal dengan julukan Syaikhul-Akbar (Doktor Maximus), sedangkan di Sepanyol sendiri dikenal dengan nama Ibnu Suraqah Pendidikan agamanya diawali di tempat kelahirannya sendiri dengan belajar kepada dua orang wanita kudus, seorang di antaranya adalah Fatimah dari Kordoba.
Pada tahun 568 H/1172-3 M, ketika berumur 8 tahun, dia
merantau ke Lisabon untuk belajar membaca Al-Qur’an dan mempelajari Hukum Islam
kepada Syaikh Abu Bakr ibn Khalaf.
Sesudah itu dia pindah ke dan menetap di Sevilla selama
lebih kurang 30 tahun untuk melanjutkan pelajarannya di bidang Hukum Islam,
disamping mempelajari Hadis, Ilmu Kalam dan Ilmu Tasawuf. Dia juga mengunjungi
beberapa kota lainnya di Sepanyol, di antaranya Kordoba di mana dia berkenalan
akrab dengan Ibnu Rusyd yang kemudian menjadi qadi di kota tersebut. Selain
itu, dia juga mengunjungi Tunisia, Fez dan Maroko.
Di Tunisia, pada tahun 590 H/1194 M, dia mempelajari
Kitab Khal‘an-Na‘lain [Melepas Dua Sepatu] karangan Ibnu Qassi, sebuah kitab
yang oleh Ibnu Khaldun 150 tahun kemudian, dinilai berisi gagasan-gagasan
bid‘ah dan sepantasnya dibakar atau dicuci bersih.
Penulis kitab ini adalah pendiri kelompok
mistiko-politik, Muridun, yang terlibat dalam pemberontakan melawan
penguasa-penguasa Al-Murabitun di Algrave, Portugal selatan, pada sekitar tahun
526 H/1130 M, tetapi dia sendiri dibunuh pada tahun 546 H/1150 M.
Selain itu, Ibnu ‘Arabi diduga mempelajari juga kitab-kitab karangan Ibnu Masarrah dari Kordoba yang, kira-kira pada tahun 296 H/900 M, membicarakan cahaya yang menyucikan dan digolongkan sebagai aliran filsafat mistik [aliran Isyraqiyyah, Illuminisme
Selain itu, Ibnu ‘Arabi diduga mempelajari juga kitab-kitab karangan Ibnu Masarrah dari Kordoba yang, kira-kira pada tahun 296 H/900 M, membicarakan cahaya yang menyucikan dan digolongkan sebagai aliran filsafat mistik [aliran Isyraqiyyah, Illuminisme
Menurut Affifi, tasawuf jenis ini, yang juga dianut
oleh Ibnu ‘Arabi, kurang disenangi baik di wilayah Islam barat dan Sepanyol
maupun di Afrika Utara sehingga, menurut pendapatnya, bila Ibnu ‘Arabi menetap
di Sepanyol mungkin dia akan mengalami nasib yang sama sebagaimana Ibnu Qassi
yang dibunuh atau Ibnu Barrajan dan Ibnu ‘Arif yang mati diracun oleh Gubernur
Afrika Utara, ‘Ali ibnu Yusuf, setelah dipenjara selama bertahun-tahun.
Pada tahun 597 H/1201 M Ibnu ‘Arabi mendapatkan ilham untuk pergi haji ke Mekah. Hal ini, menurut Affifi, dilakukan selain sebagai kebiasaan bagi kebanyakan laki-laki saleh di wilayah barat juga didorong oleh kondisi keamanan di Sepanyol dan wilayah barat pada umumnya yang merupakan pusat kekacauan politik.
Pada tahun 597 H/1201 M Ibnu ‘Arabi mendapatkan ilham untuk pergi haji ke Mekah. Hal ini, menurut Affifi, dilakukan selain sebagai kebiasaan bagi kebanyakan laki-laki saleh di wilayah barat juga didorong oleh kondisi keamanan di Sepanyol dan wilayah barat pada umumnya yang merupakan pusat kekacauan politik.
Karena itu selesai menunaikan ibadah haji itu dia tidak
kembali ke Sepanyol, melainkan menetap di Mesir bersama murid dan pembantu
setianya, ‘Abdullah al-Habbasyi, meskipun di negara ini pun dia tidak luput
dari ancaman maut dari orang-orang yang tidak menyukai faham tasawufnya.
Satu hal yang menarik selama dia menjalankan ibadah haji itu adalah bahwa dia bertemu dengan seorang perempuan Persia yang mengagumkannya karena sangat cantik dan sangat pandai. Akhirnya dia menyusun syair-syair yang indah berjudul Tarjumanul-Asywaq [Penerjemahan Kerinduan] untuk mengekspresikan rasa kagum dan rindunya kepada perempuan tersebut, yang kemudian ditafsirkannya sendiri dengan pengertian mistik.
Satu hal yang menarik selama dia menjalankan ibadah haji itu adalah bahwa dia bertemu dengan seorang perempuan Persia yang mengagumkannya karena sangat cantik dan sangat pandai. Akhirnya dia menyusun syair-syair yang indah berjudul Tarjumanul-Asywaq [Penerjemahan Kerinduan] untuk mengekspresikan rasa kagum dan rindunya kepada perempuan tersebut, yang kemudian ditafsirkannya sendiri dengan pengertian mistik.
Dari Mesir dia melanjutkan pengembaraannya ke
Jerussalem, Mekah dan Hijaz untuk kedua kalinya, kemudian ke Aleppo dan Asia
Kecil. Dan akhirnya dia menetap di Damaskus, Syria, hingga saat meninggalnya
pada tahun 638 H/1240 M.
Mengenai jumlah buku yang ditulisnya ternyata banyak sekali dan tidak ada seorang pun mengetahui jumlahnya yang pasti. Harun Nasution menyatakan lebih dari 200 buah, sementara Duncan B. Macdonald dan Brockelmann menyebut sekurang-kurangnya ada 150 buah Jami dalam bukunya, Nafahat, menyebut jumlah lebih dari 500 buah sedangkan Ibnu ‘Arabi sendiri, menurut Prof. Browne dalam bukunya, Literary History of Persia, diperkirakan pernah menyebut 289 tulisannya dalam sebuah catatan yang ditulisnya pada tahun 632 H/1234 M.
Mengenai jumlah buku yang ditulisnya ternyata banyak sekali dan tidak ada seorang pun mengetahui jumlahnya yang pasti. Harun Nasution menyatakan lebih dari 200 buah, sementara Duncan B. Macdonald dan Brockelmann menyebut sekurang-kurangnya ada 150 buah Jami dalam bukunya, Nafahat, menyebut jumlah lebih dari 500 buah sedangkan Ibnu ‘Arabi sendiri, menurut Prof. Browne dalam bukunya, Literary History of Persia, diperkirakan pernah menyebut 289 tulisannya dalam sebuah catatan yang ditulisnya pada tahun 632 H/1234 M.
Yang jelas, di antara buku-buku tersebut ada dua judul
yang sangat terkenal, yaitu Futuhatul-Makkiyyah
dan Fusul-Hikam.
Buku Futuhat
mulai dikerjakan pada tahun 598 H di Mekah dan selesai tahun 635 H, kira-kira 3
tahun sebelum meninggal, sedangkan buku Fusus
diselesaikannya pada tahun 628 H, kira-kira 10 tahun sebelum meninggalnya.
Menurut pengakuan penulisnya sendiri, buku Futuhat
didiktekan oleh Allah melalui malaikat pembawa wahyu, sedangkan buku Fusus,
yang terdiri dari 29 bab mengenai kenabian, diilhami oleh Nabi sendiri.
Komentar-komentar mengenai kedua buku tersebut telah banyak ditulis orang, baik yang bernada setuju maupun menentang. Salah satu komentar ilmiah mengenai pemikiran Ibnu ‘Arabi, yang sekaligus memperkenalkannya ke Eropa tetapi sedikit diketahui oleh para pengkaji Tasawuf, adalah yang ditulis oleh Hendrik Samuel Nyberg berjudul Kleinere Schriften des Ibn ‘Arabi (Leiden, 1919).
Komentar-komentar mengenai kedua buku tersebut telah banyak ditulis orang, baik yang bernada setuju maupun menentang. Salah satu komentar ilmiah mengenai pemikiran Ibnu ‘Arabi, yang sekaligus memperkenalkannya ke Eropa tetapi sedikit diketahui oleh para pengkaji Tasawuf, adalah yang ditulis oleh Hendrik Samuel Nyberg berjudul Kleinere Schriften des Ibn ‘Arabi (Leiden, 1919).
Yang jelas, kedua buku tersebut sangat berpengaruh terhadap
para tokoh Sufi yang muncul di kemudian hari, terutama di Persia, India dan
Turki.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, ada tiga kelompok yang
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi: (1) kelompok Sufi, (2)
‘ulama’ dan ahli ma‘rifah dalam Syi‘ah, Imamiyyah maupun Isma‘iliyyah, dan (3)
para penafsir dan pengupas ajaran Ibnu ‘Arabi sendiri yang merupakan
pewaris-pewaris langsung dan pelanjut-pelanjut ajarannya.
Di antara para Sufi yang terpengaruh oleh pemikiran
Ibnu ‘Arabi adalah Jalaluddin ar-Rumi yang mengenal Ibnu ‘Arabi dan
pemikirannya melalui Sadruddin al-Qunyawi, murid Ibnu ‘Arabi, dan yang kemudian
menjadi teman dan pembantu dekat Ar-Rumi. Selain itu ‘Aziz Nasafi, Sa‘duddin
Hamuyah, ‘Alaud-Daulah Simnani, Hafiz, Sa‘di, Frakhruddin ‘Iraqi yang menulis
buku Lama‘at, Mahmud Syabistari yang menulis buku Gulzhan-i-raz, Syah
Ni‘matullah Wali, pendiri Tarikat Ni‘matullahi di Persia dengan
cabang-cabangnya di Pakistan dan negara-negara Islam lainnya, dan guru Sufi
‘Abdurrahman Jami yang kemudian diikuti oleh Safa-yi Isfahani.
Para ‘ulama’ Syi‘ah yang terpengaruh oleh
pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi, di antaranya adalah Sayyid Haydar Amuli, Ibnu
Turkah yang menulis pengantar Fususul-Hikam dalam bukunya Tamhidul-Qawa‘id, Ibnu
Abi Jumhur yang menulis buku Kitabul-Mujli sebagai komentator atas buku Fusus, Sadruddin Syirazi
atau Mulla Sadrah yang memasukan filsafat Peripatetik dan Isyraqiyyah
(Illuminisme) dengan ajaran ma‘rifat Ibnu ‘Arabi dalam bukunya Asfar, dan juga
murid-murid Mulla Sadrah seperti Mulla Na‘ima Taligani, Mulla ‘Ali Nuri, Hajji
Mulla Hadi Sabziwari, Mulla ‘Ali Zunuzi dan Aqa Muhammad Rida Qumsya’illah.
Sedangkan para penafsir dan pengupas ajaran Ibnu ‘Arabi
dapat disebutkan a.l. Sadruddin al-Qunyawi, murid dan anak angkat Ibnu ‘Arabi
sendiri, yang juga menulis buku-buku Nusus,
Fukuk dan Miftahul-Ghaib,
Hamzah Fanari, ‘Abdur Razaq Kasyani, Dawud Qasyari, ‘Ali Hamadani, As-Simnani,
Bali Affandi dan Nablusi.
Di antara kira-kira 150 buah komentar atas buku Fusus
terdapat 120 yang ditulis oleh komentator-komentator Persia hal ini menunjukkan
betapa kuatnya pengaruh pemikiran Ibnu ‘Arabi di negara tersebut.
Pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi juga berpengaruh di
Indonesia, terutama di Acehh, melalui Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani
dan juga Nuruddin ar-Raniri, dan juga di Jawa, yang tertuang dalam faham
manunggaling kawula-gusti (kesatuan antara manusia dan Tuhan) dari Syaikh Lemah
Abang atau Syaikh Siti Jenar yang terkenal karena kata-katanya, “iya ingsun iki Allah, endi si malih,
mapan orana malih, saking ingsun iki” (ya saya inilah Allah, siapa
lagi, sebab tidak ada lagi yang lain di samping saya ini).
Dapat ditambahkan bahwa disamping adanya orang-orang
yang mendukung, terdapat juga orang-orang yang menentang pemikiran-pemikiran
Ibnu ‘Arabi ini.
Yang terkanal di antara mereka adalah Ibnu Taimiyyah
(1263-1328), yang bahkan menulis karangan khusus berjudul Ar-Raddu ‘ala Ibni ‘Arabi
was-Sufiyyah yang berisi sanggahan dan penolakan total terhadap
pemikiran-pemikiran tokoh Sufi tersebut dan tokoh-tokoh Sufi lainnya
Dan, sebagaimana diketahui, pemikiran Ibnu Tamiyyah
inilah yang kemudian diikuti oleh kebanyakan pemikir Muslim moderen hingga
sekarang.
Pemikiran-pemikiran
Ibnu ‘Arabi
Secara ringkas dapat dikemukakan
bahwa pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi mencakup hampir semua permasalahan yang
dibahas dalam filsafat,tetapi inti pemikirannya terletak pada konsep atau faham
Wahdatul-Wujud, yaitu faham yang didasarkan atas keesaan wujud Allah dan alam.
Pembahasan tentang pemikiran-pemikiran
Ibnu ‘Arabi dalam makalah ini disederhanakan rinciannya menjadi tiga masalah
pokok: ketuhanan, alam dan manusia.
Pemikiran tentang
Ketuhanan
Sebagai pengantar perlu dikemukakan
tentang pendapat Ibnu ‘Arabi mengenai wujud dan kaitannya dengan faham
wahdatul-wujud-nya. Menurut Ibnu ‘Arabi, pada hakikatnya wujud itu hanyalah
satu, yaitu wujud Allah yang mutlak (al-wujudul-mutlaq) atau wujud yang
universal (al-wujudul-kulli), yang merupakan realitas puncak dari semua yang
ada.
Namun pengertian wujud dan
kemutlakannya itu ternyata tidak definitif. Wujud bisa berarti dalam konsep
(al-wujud bil-ma‘nal-masdari) atau sebagai sesuatu yang ada (eksis) atau yang
hidup (subsis).
Sedangkan kemutlakan wujud itu
sendiri bisa mencakup 4 macam pengertian:
(1) mutlak dalam arti bahwa wujud itu tidak terbatas pada bentuk khusus apapun, melainkan umum pada semua bentuk;
(2) mutlak dalam arti bukan wujud dalam semua bentuk, melainkan wujud yang mentransendensikan semua bentuk;
(3) mutlak dalam arti bukan sebagai penyebab (‘illat) dari segala sesuatu, dan ini disebutnya sebagai wujud yang menghidupkan diri sendiri dan mutlak bebas; dan
(4) mutlak dalam arti Realitas dari segala realitas (haqiqatul-haqa’iq).
Selain itu Ibnu ‘Arabi sendiri sering menyebut Wujud Mutlak itu sebagai “kebutaan” (al-‘Ama), “Titik Diakritik” (an-Nuqtah), “Pusat Lingkaran” (Markazud-Da’irah), atau metafora-metafora lain yang sulit dipahami.
Karena itulah banyak orang tidak
mengetahui secara pasti apa yang dimaksud dengan pernyataan Ibnu ‘Arabi bahwa
semua wujud itu adalah satu dan merupakan kesatuan mutlak.
Yang
jelas, dalam bukunya Fususul-Hikam dia menyatakan:
Kalaulah itu bukan karena penetrasi Tuhan, dengan melalui bentuknya, di dalam semua eksistensi, maka dunia ini mungkin tidak ada, persis seperti kalaulah itu bukan karena realitas-realitas universal yang dapat dipahami (al-Haqa’iqul-Ma‘qulatul-Kulliyyah), maka tentu tidak akan ada prediksi-prediksi (ahkam) tentang objek-objek yang eksternal.
Jadi menurut Ibnu ‘Arabi semua yang
kita ketahui hanya mempunyai eksistensi terbatas dan ini tidak mungkin berasal
dari dirinya sendiri. Karena itu mesti ada Eksistensi Absolut yang menjadi
sumber dari semua eksistensi yang terbatas, dan Eksistensi Absolut itu tidak
lain adalah Tuhan (Allah).
Perlu ditambahkan bahwa menurut Ibnu ‘Arabi, wujud dan eksistensi itu mempunyai pengertian yang berbeda satu sama lain. Eksistensi adalah species dari wujud. Segala sesuatu yang mempunyai wujud bisa dikatakan mempunyai eksistensi bila ia dimanifestasikan dalam salah satu di antara 4 tahapan atau tingkatan (’awalim atau maratib) wujud, yaitu
Perlu ditambahkan bahwa menurut Ibnu ‘Arabi, wujud dan eksistensi itu mempunyai pengertian yang berbeda satu sama lain. Eksistensi adalah species dari wujud. Segala sesuatu yang mempunyai wujud bisa dikatakan mempunyai eksistensi bila ia dimanifestasikan dalam salah satu di antara 4 tahapan atau tingkatan (’awalim atau maratib) wujud, yaitu
(i) wujud di dunia eksternal
(wujudusy-syai’ fi ‘ainih),
(ii) wujud berakal (wujudusy-syai’
fil-‘ilm),
(iii) wujud sesuatu dalam ucapan
(wujudusy-syai’ fil-alfaz), dan (iv) wujud sesuatu dalam tulisan
(wujudusy-syai’ fir-rusum).
Menurut Ibnu ‘Arabi segala sesuatu
yang mempunyai wujud, baik yang sementara maupun yang abadi, harus ada di dalam
salah satu di antara empat tahapan tersebut. Bila tidak, maka ia bukan wujud.
Tetapi di sini Ibnu ‘Arabi memberikan definisi yang membingungkan. Menurut
rumusannya, bukan-wujud adalah:
(1) Sesuatu yang tidak mempunyai eksistensi dalam salah satu tingkatan wujud, atau non-eksistensi murni (al-‘adamul-mahd); atau
(2) Sesuatu yang ada dalam satu tingkatan wujud tetapi tidak ada dalam tingkatan lainnya; dan ini bisa berupa:
(a) sesuatu yang hanya ada dalam
pikiran sebagai ide atau konsep dan tidak mungkin ada dalam dunia eksternal;
dan
(b) sesuatu yang mungkin ada atau bahkan
merupakan eksistensi, tetapi sebenarnya tidak ada di dunia eksternal.
Mengenai Tuhan atau Allah, Ibnu
‘Arabi menyatakan bahwa Dia bukanlah Allah dalam agama yang oleh orang-orang
dibayangkan menurut keinginan-keinginan mereka dan dari segi pahala dan siksa
di akhirat nanti.
Allah berada di atas semua itu dan
bagaimana Dia sebenarnya, menurut pendapatnya, hanya dapat diketahui oleh orang
Sufi pada puncak pengalaman spiritualnya.
Akan tetapi Allah atau Wujud Mutlak
itu ber-tajalli atau menampakkan diri dalam tiga martabat:
(1) Martabat Ahadiyyah (Zatiyyah).
Pada tingkatan ini wujud Allah
merupakan Zat Mutlak dan mujarrad, tidak bernama dan tidak bersifat; karena itu
Dia tidak dapat dipahami atau dikhayalkan.
(2) Martabat Wahidiyyah,
Tajalli Zat atau Faid Aqdas
(limpahan yang terkudus) di mana Allah melimpah melalui sifat dan asma’-Nya.
Zat tersebut disebut Allah, Pengumpul atau Pengikat Sifat-sifat dan Asma’ yang
Sempurna (al-Asma’ul-Husna). Di sini Ibnu ‘Arabi, sebagaimana mazhab
Mu‘tazilah, mengidentikkan sifat dan asma’ ini dengan zat Allah (‘ainuz-zat)
tetapi, pada saat yang sama, berbeda dengan Mu‘tazilah, karena dia menyebut
sifat dan asma’ ini sebagai hakikat alam empirik (a‘yanus-sabitah), yang juga
disebutnya sebagai proses ta‘ayyunul-awwal (kenyataan pertama) yang berupa
wujud potensial.
(3) Martabat Tajalli Syuhudi atau Faid Muqaddas
(limpahan
kudus), yang juga disebutnya sebagai ta‘ayyunus-sani (kenyataan kedua). Pada
tingkatan ini Allah ber-tajalli melalui asma’ dan sifat-Nya dalam kenyataan
empirik atau kenyataan aktual; dan ini terjadi melalui firman-Nya dalam QS.
36:82 yang berbunyi “Kun” (Jadilah!).
Dari uraian tersebut dapat dibuat rangkuman mengenai tajalli Allah seperti denah berikut ini:
MARTABAT AHADIYYAH
(Allah tidak dapat dipahami atau dibayangkan)
↓
MARTABAT WAHIDIYYAH
(Wujud potensial dalam asma’ dan sifat zatiyyah)
↓
KUN → MARTABAT TAJALLI SYUHUDI
(Wujud aktual dalam berbagai wujud dan bentuk yang tiada akhir)
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa sebenarnya semua wujud aktual atau kenyataan empirik ini merupakan
manifestasi (mazhar) dari asma’ dan sifat-sifat Allah, sebagaimana dikatakan
oleh Ibnu ‘Arabi sendiri dalam bukunya Fususul-Hikam:
ﻥﺤﻧﻭ
، ﻩﺩﻭﺠﻭ ﺎﻧ ﺩﻮﺟﻭﻓ
ﻒﺼﻭﻠﺍﻚﻟﺫ ﴾ﺖ ﺎﻗﻮﻟﺨﻣﻟﺍ﴿
ﻦﺤﻧ ﺎﻧﻜ ﻻﺇ
ﻒﺻﻭﺒ ﺎﻧﻔﺻﻮ ﺎﻣﻓ
ﻪﺴﻔﻧﻠ ﻩﺭﻭﻬﻅ ﺙﻴﺣ ﻥﻣﺎﻧﻴﻟﺇﺭﻘﺘﻔﻤﻭﻫﻭ ﺎﻧ ﺪﻭﺠﻭ ﺙﻴﺣ ﻥﻣ ﻪﻴﻟﺇ ﻥﻭﺭﻗﺗﻔﻣ
Dalam bukunya Futuhatul-Makkiyyah, Ibnu ‘Arabi juga menyatakan:
ﻪﺴﻔﻧﻠ ﻩﺭﻭﻬﻅ ﺙﻴﺣ ﻥﻣﺎﻧﻴﻟﺇﺭﻘﺘﻔﻤﻭﻫﻭ ﺎﻧ ﺪﻭﺠﻭ ﺙﻴﺣ ﻥﻣ ﻪﻴﻟﺇ ﻥﻭﺭﻗﺗﻔﻣ
Dalam bukunya Futuhatul-Makkiyyah, Ibnu ‘Arabi juga menyatakan:
ﺎﻬﻧﻴـﻋﻭﻫﻮﺀﺂﻴﺷﻷﺍ ﻖﻠﺧ ﻥﻣ ﻥﺎﺤﺒﺳ
Ini berarti bahwa Tuhan dan alam,
walaupun alam merupakan ciptaan-Nya, merupakan dua sisi atau wajah dari hakikat
yang sama: dari segi lahiriahnya disebut alam dan dari segi batiniah atau
hakikatnya disebut Tuhan. Atau dengan perkataan lain bahwa hakikat alam semesta
ini (al-haqiqatul-kulliyyah) mempunyai dua sisi sekaligus:
(1)
Al-Haqq (Tuhan), yang Esa, Qadim, Batin dan Awwal, dan
(2) Al-khalq (Makhluk), yang banyak, baru,
lahir dan akhir.
Pemikiran tentang
Alam
Dari uraian terdahulu dapat
diketahui bahwa alam semesta, meskipun merupakan ciptaan Allah, adalah
manifestasi (mazhar) dari asma’ dan sifat-sifat Allah yang ber-tajalli di
dalamnya. Dan ini merupakan proses yang berjalan secara terus-menerus tanpa
kesudahan melalui firman-Nya, “Kun” (Jadilah!).
Menurut Ibnu ‘Arabi, tujuan penciptaan alam atau tajalli Allah dalam alam ini adalah agar Allah dapat dikenali lewat asma’ dan sifat-sifat-Nya. Dan pendapatnya ini didasarkan atas sebuah hadis qudsi yang berbunyi:
Menurut Ibnu ‘Arabi, tujuan penciptaan alam atau tajalli Allah dalam alam ini adalah agar Allah dapat dikenali lewat asma’ dan sifat-sifat-Nya. Dan pendapatnya ini didasarkan atas sebuah hadis qudsi yang berbunyi:
ﻲﻧﻮﻔﺭـﻋ ﻪﻴﻔ ﻕﻠﺨﻠﺍﺖﻘﻠﺨﻔ ﻒﺭـﻋﺃﻥ ﺃ ﺖﺒﺒﺣﺄﻔ ﺎﻴﻔﺧﻣ ﺍﺯﻧﻜ ﺖﻧﻛ
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa tanpa adanya alam ini asma’ dan Sifat-sifat Allah akan kehilangan makna dan akan tetap merupakan citra akali (suwarun ‘aqliyyah) dalam zat yang, pada gilirannya, zat itu akan tetap dalam kemujarradannya dan tidak dapat dikenal oleh siapapun.
Di sinilah, menurut Ahmad Daudy,
terletak urgensinya wujud alam sebagai manifestasi kehendak Ilahi yang ingin
melihat diri-Nya yang mutlak terjelma dalam berbagai bentuk empirik yang
terbatas (as-suwarul-hissiyatul-mahdudah).
Sejalan dengan pendapat Ahmad Daudy ini, Annemarie Schimmel melukiskan hubungan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya ini dengan menyatakan bahwa Tuhan yang Mutlak rindu dalam Kesendirian-Nya dan … [sesuai dengan hadis tersebut di atas] menghasilkan penciptaan sebagai pencerminan dari tajalliyat-Nya atau pengejawantahan-Nya. Lebih lanjut dia menulis:
“Tuhan yang duka” menjadikan bereksitensinya segala sesuatu yang bernama demi kedukaan purba nama-nama ilahi. Kehausan yang tak terhingga dari Tuhan yang duka, dengan cara tertentu, terpantulkan pada kehausan yang tak terhingga dari ciptaan-ciptaan-Nya, yang rindu akan pulang ke tumah. … atau ciptaan yang mungkin dapat dibandingkan dengan artikulasi … – “nafas” dari Tuhan, yang dihembuskan kedalam tubuh Adam atau Maria untuk mencipta suatu makhluk baru”
Sejalan dengan pendapat Ahmad Daudy ini, Annemarie Schimmel melukiskan hubungan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya ini dengan menyatakan bahwa Tuhan yang Mutlak rindu dalam Kesendirian-Nya dan … [sesuai dengan hadis tersebut di atas] menghasilkan penciptaan sebagai pencerminan dari tajalliyat-Nya atau pengejawantahan-Nya. Lebih lanjut dia menulis:
“Tuhan yang duka” menjadikan bereksitensinya segala sesuatu yang bernama demi kedukaan purba nama-nama ilahi. Kehausan yang tak terhingga dari Tuhan yang duka, dengan cara tertentu, terpantulkan pada kehausan yang tak terhingga dari ciptaan-ciptaan-Nya, yang rindu akan pulang ke tumah. … atau ciptaan yang mungkin dapat dibandingkan dengan artikulasi … – “nafas” dari Tuhan, yang dihembuskan kedalam tubuh Adam atau Maria untuk mencipta suatu makhluk baru”
Hakikat Sejati [Allah] seolah-olah
menahan “nafas” sampai tidak tertahankan lagi – dan dunia tampil sebagai nafas
ar-rahman. Seperti dalam pernapasan, begitu pula alam semesta dicipta dan
dihapuskan setiap saat; alam semesta dikembalikan ke asalnya yang transenden
seperti nafas dikembalikan ke paru-paru.
Mengenai alam ini, Ibnu ‘Arabi membedakannya dalam 4 macam, yaitu
(1)
alam jabarut, di mana ditempatkan sabda Ilahi dan daya rohani,
(2) alam misal, tempat terjadinya
eksistensialisme, sebagai lapisan yang diraih oleh himmah dan doa-doa para wali
agar enerji rohani mereka bebas dan mengubah kemungkinan menjadi keberadaan
yang aktual,
(3)
alam malakut, dunia malaikat,
(4)
nasut, atau alam manusia.
Namun, meskipun terdapat 4 macam
alam tersebut, menurut Ibnu ‘Arabi, kesemuanya berasal dari apa yang disebutnya
Haqiqah Muhammadiyyah, yaitu akal ilahi yang merupakan wadah ber-tajalli-nya
Allah untuk pertama kalinya pada tingkat atau tahapan Ahadiyyah.
Dan istilah ini sama dengan Akal
Pertama menurut para filosuf, Pencipta Pertama (Al-Mubdi’ul-Awwal) menurut
Syi‘ah Isma‘iliyyah, atau Akal Universal menurut Plotinus. Ibnu ‘Arabi
mengambilalih istilah-istilah tersebut dan mengubahnya menjadi Ummul-Kitab,
Al-Qalamul-A‘la, Nurul-Muhammadi dan Haqiqah Muhammadiyyah; dan semuanya itu disebutnya
sebagai Ta‘ayyunul-Kulliyyah.
Di
antara hadis-hadis yang dijadikan alasan untuk menguatkan pendapatnya ini
adalah sebagai berikut:
ﺙﻌﺑﻟﺍ ﻰﻓ ﻢﻫﺭﺨﺁﻭ ﻕﻟﺨﻠﺍ ﻰﻓ ﺱﺎﻧﻠﺍ ﻝﻭﺃ ﺎﻧﺃ –
ﻯﺭﻭﻧ ﷲﺍ ﻖﻟﺧ ﺎﻣ ﻞﻭﺃ –
ﻥﻴﻃﻠﺍﻭ ﺀﺂﻣﻟﺍ ﻥﻳﺒ ﻢﺪﺁﻭ ﺎﻳﺒﻧﺖﻧﻛ –
Namun hadis-hadis tersebut selain ada yang tidak sahih, juga tidak menunjukkan pengertian Nur Muhammad atau Haqiqah Muhammadiyyah seperti tersebut di atas, melainkan sekedar mengacu pribadi Nabi Muhammad saw.
Sebenarnya pengertian ini pun
dibenarkan juga oleh Ibnu ‘Arabi dalam bukunya Fususul-Hikam ketika
membicarakan keutamaan pribadi Nabi Muhammad saw., di mana dia mengatakan:
ﺎﻴﺒﻧ ﻥﺎﮑﻔ ﻡﺘﺧﻮﺮﻣﻷﺍ ﻪﺒ ﻯﺪﺒﺍﺫﻬﻠﻮ ٠٠٠
Akan tetapi dalam hal ini rupanya
Ibnu ‘Arabi mengikuti kedua pendapat dan pengertian tersebut sama seperti
Al-Hallaj, pendahulunya, yang juga berpendapat bahwa Haqiqah Muhammadiyyah itu
ada dua macam:
(1)
nur yang pertama, yang telah ada sebelum adanya alam, dan
(2)
Nabi Muhammad saw. sendiri. Pendapat kembar seperti ini juga dikenal di
kalangan Syi‘ah, baik Imamiyyah maupun Isma‘iliyyah. Pendapat ini juga ada
kemiripannya dengan pendapat kalangan Neoplatonis serta para filosuf Yahudi dan
Kristen.
Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan oleh Ibrahim Hilal,
dalam hal ini Ibnu ‘Arabi mengambil dua sumber sekaligus: kalangan Sufi dan
filosuf Muslim dan kalangan filosuf bukan-Muslim. Mengenai hal ini akan
disinggung lagi dalam pembicaraan tentang pemikiran Ibnu ‘Arabi tentang
manusia.
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, terciptanya alam
ini didorong oleh kehendak Ilahi yang ingin melihat diri-Nya yang Mutlak
melalui berbagai bentuk empirik yang terbatas, atau karena kerinduan-Nya dalam
kesendirian-Nya, meminjam kata-kata Annemarie Schimmel.
Akan tetapi karena alam empirik ini berada dalam wujud
yang terpecah-pecah, maka tajalli asma’ dan sifat-sifat Allah itu tidak dapat
tertampung seluruhnya. Menurut Ahmad Daudy, alam ini ibarat cermin yang belum
diasah dan merupakan badan tanpa roh, sehingga Tuhan tidak dapat melihat
diri-Nya dalam wujud yang sempurna dan menyeluruh.
Karena itu diperlukan cermin lain yang dapat menampung
citra Allah itu secara sempurna, dan cermin itu tiada lain adalah manusia;
sebab manusialah yang dapat menampung sifat-sifat jamal dan jalal-Nya.
Pemikiran tentang
Manusia
Mengenai manusia, Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa manusia yang dapat menjadi tempat tajalli Allah bukanlah sembarang manusia melainkan Manusia Sempurna (Insan Kamil), yaitu manusia yang telah mencapai tingkatan tertinggi dalam martabat kemanusiaannya, yang dalam dirinya terdapat Haqiqah Muhammadiyyah atau Nur Muhammad.
Menurut Ibnu ‘Arabi, Nur atau Ruh Muhammad merupakan
tajalli Ilahi yang paling sempurna dan ia dicipta sebelum alam ini. Ia
mempunyai dua jalur hubungan atau fungsi:
(1)
dengan alam sebagai asas penciptaan alam atau logos dan
(2) dengan manusia sebagai hakikat manusia, yaitu
manusia sempurna (Insan Kamil). Dengan demikian Haqiqah Muhammadiyyah atau Nur
Muhammad itu merupakan cikal bakal dan
yang sekaligus menjelma dalam alam semesta, disamping memanifestasikan dirinya
dalam manusia. Atau dengan perkataan lain, bahwa alam semesta sebagai
makrokosmos dan manusia sebagai mikrokosmos sama-sama berasal dari Haqiqah
Muhammadiyyah atau logos tersebut.
Dalan kaitan ini Seyyed Hossein Nasr menyatakan:
Since the universe is the “body” of the logos, and since the Logos also manifests itself microcosmically in man, the gnostic gains greater intimacy with the universe, the more he becomes integrated into the luminous source of his own being. In principle, the body of man is microcosm contains in miniature the universe, viewed as the macrocosm. Moreover, the Principle which lies at the center of man’s being is that same Intellect [Logos] “out of which all things are made.” That is why the gnostics believe that the best way to know Nature in its essence, rather in the details, in the purification of one’s self until one’s being becomes illuminated by the Intellect. Having thus reached the center, the gnostic has, in principle, the knowledge of all things
Dari kutipan tersebut terlihat jelas bahwa manusia dan alam semesta berasal dari Haqiqah Muhammadiyyah atau Logos yang sama, dan bahkan manusia merupakan miniatur dari alam semesta itu, sehingga cara yang terbaik untuk mengetahui alam semesta adalah menyucikan jiwa sehingga wujudnya dipersatukan oleh Logos tersebut.
Dari kutipan tersebut juga dapat ditarik kesimpulan
lain bahwa Haqiqah Muhammadiyyah tidak identik dengan pribadi Nabi Muhammad
saw., walaupun diakuinya bahwa beliau, dilihat dari sisi hakikatnya, adalah
juga Logos itu.
Selain itu, beliau juga diakui sebagai Manusia Sempurna
(Insan Kamil) yang par excellence, sebagai khatamun-nabiyyin, dan karena itu
menyatu dalam dirinya semua aspek kenabian.
Dengan perkataan lain, selain diakui sebagai Logos yang
menjadi asas penciptaan alam dan manusia, Nabi Muhammad saw, juga diakui
sebagai Insan Kamil yang maha sempurna.
Mengenai
nabi-nabi selain Muhammad saw., oleh Ibnu ‘Arabi melalui konsep Haqiqah
Muhammadiyyah yang kemudian diikuti oleh al-Jilli, juga dikatakan sebagai
aspek-aspek dari logos universal yang sama, yaitu Haqiqah Muhammadiyyah itu.
Bahkan lebih dari itu, setiap pendiri agama dan
kemajemukan agama-agama itu sendiri juga diakui sebagai hasil langsung dari
kekayaan Wujud Allah yang tidak terhingga. Itulah yang dikenal dengan ajaran
tentang keuniversalan wahyu atau Transcendent Unity of Religions [Wahdatul-Adyan].
Dalam
Futuhatul-Makkiyyah
Ibnu ‘Arabi menyatakan:
Ketahuilah bahwa ketika Tuhan Yang Maha Mulia mencipta makhluk-makhluk Dia mencipta mereka bermacam jenis dan pada setiap jenis makhluk Dia letakkan yang paling baik dan paling terpilih di antara yang terbaik. Inilah orang-orang mu’min. Dan Dia memilih di antara sekalian orang mu’min itu orang-orang terpilih, yaitu wali-wali, dan dari yang terpilih ini Dia pilih yang inti-inti. Inilah Nabi-nabi (anbiya’). Dan dari inti-inti ini Dia pilih bagian yang paling baik dan merekalah nabi-nabi yang membawa Hukum Ilahi. …
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa menurut Ibnu ‘Arabi, para wali berada dalam kedudukan yang setingkat dengan para nabi dan, tentunya, termasuk dengan Nabi Muhammad saw. sendiri. Karena itu cukup mengherankan bila, seperti sudah dikemukakan sebeluimnya, tiba-tiba Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw. juga merupakan Logos atau Haqiqah Muihammadiyyah yang merupakan asas penciptaan dan karena itu lebih tinggi daripada para wali.
Barangkali di sini terselip kekhawatiran atau bahkan
ketidakberanian Ibnu ‘Arabi untuk menghadapi tantangan atau serangan umat
Muslim, bila Nabi Muhammad saw. hanya ditempatkan sejajar dengan atau bahkan
termasuk di antara para wali.
Dalam buku yang sama, Ibnu ‘Arabi juga menyebut adanya tingkatan-tingkatan wali yang secara berurutan dari atas ke bawah sebagai berikut: qutb, ghaus atau imam dalam tradisi Syi‘ah, nuqaba’, autad, abrar, abdal dan akhyar. Bahkan dia mengatakan bahwa ada tujuh orang abdal yang masing-masing akan muncul setiap tujuh musim.
Dari kutipan-kutipan di atas jelaslah bahwa, meskipun siklus kenabian yang membawa Hukum Ilahi telah berakhir dengan lahirnya Nabi Muhammad saw., nabi-nabi lain dan wali-wali dengan berbagai tingkatannya, menurut Ibnu ‘Arabi, masih akan tetap ada.
Satu hal yang menarik untuk diungkapkan dalam kaitannya dengan pemikiran Ibnu ‘Arabi tentang manusia adalah penilaiannya tentang perempuan. Dia tidak hanya menyatakan bahwa cinta perempuan merupakan milik kesempurnaan ma‘rifat, karena merupakan warisan dari Nabi Muhammad saw. dan bersifat ilahi, tetapi juga menganggap perempuan sebagai pengungkapan rahasia Allah yang Maha Penyayang dan sekaligus, dengannya, dia memberi corak feminin kepada Allah. Dalam hal ini, sebagaimana diungkapkan oleh Jalaluddin ar-Rumi dalam Masnawi-nya, Ibnu ‘Arabi menyatakan:
Allah tidak bisa dilihat terlepas dari benda. Ia kelihatan lebih nyata pada benda manusia daripada benda-benda lain, dan kelihatan lebih sempurna lagi pada wanita daripada pada pria. … Tuhan yang terwujud dalam bentuk wanita adalah penyebab dengan kekuasaan untuk melaksanakan pengaruh sepenuhnya atas jiwa manusia dan menyebabkan manusia sepenuhnya menurut dan menghamba Diri-Nya sendiri, dan Ia pun sebagai penerima akibat karena sejauh Ia tampil dalam bentuk wanita Ia pun berada dalam penguasaan manusia dan harus menurut perintahnya.
Jadi, melihat Tuhan dalam arti wanita berarti
melihat-Nya dalam kedua segi ini, dan pandangan semacam itu lebih sempurna
dibandingkan dengan melihat-Nya dalam segala bentuk lain yang merupakan
perwujudan-Nya.
Karena itu Ibnu ‘Arabi tanpa ragu-ragu mengakui bahwa ada kemungkinan perempuan terdapat di antara para abdal yang berjumlah empat puluh atau tujuh dalam peringkat para wali itu. Barangkali pendapatnya ini ada benarnya juga sebab, seperti dikatakan oleh Margaret Smith dalam bukunya, Rabi‘a the Mystic and her Fellow-Saints in Islam (1928), wali pertama dalam Islam adalah seorang perempuan, yaitu Rabi‘ah al-Adawiyyah.
Penutup
Secara singkat dan sederhana telah ditampilkan sosok Ibnu ‘Arabi beserta pemikiran-pemikiran pokoknya dalam makalah ini. Berbagai keterbatasan pada penyaji makalah, menyebabkan belum sempurnanya makalah ini. Karenanya dengan ucapan terima kasih, penyaji makalah mengharapkan kritik dan masukan dari para peserta diskusi ini.***
Tiada ulasan:
Catat Ulasan