PENGANTAR kepada MEMAHAMI PEMIKIRAN IBNU ARABI 2
KESATUAN REALITAS……..Pemikiran Ibn
Arabi.
Dikutip dari Buku WACANA BARU FILSAFAT ISLAM
Penulis: A Khudori Soleh
Penulis: A Khudori Soleh
Kesatuan realitas ( wahdat al-wujûd ) adalah salah satu gagasan paling
kontroversial dalam metafisika, khususnya metafisika
mistik. Pemikiran ini dicetuskan oleh Ibn Arabi.1
Akan tetapi, menurut
Kautsar Azhari Noer, 2 Ibn Arabi sendiri, sebenarnya, secara formal
tidak pernah menggunakan kata-kata
wahdah al-wujûd dalam tulisan-tulisannya. Orang pertama
yang menggunakan
istilah ini, meski tidak sebagai istilah teknis dan independen, adalah Sadr al-Din al-Qunawi (w.
673/1274 M). Hanya
saja, ajaran-ajaran Ibn Arabi tentang realitas bisa memberi pemaknaan
kearah itu.
Antara
Mistik dan Filsafat.
Ibn Arabi adalah tokoh mistik yang menuliskan
pengalaman ruhaninya lewat cara fikir filsafat. Mistik (sufisme) adalah sebuah
pencarian kebenaran lewat jalan experience (penghayatan) dengan atas dasar
cinta.
Perbedaan
Sufisme dengan Filsafat,
Menurut Mutahhari, pertama,
filsafat meminjakkan argumennya
pada postulat postulatnya, sementara mistik mendasarkan argumennya pada
visi dan intuisi serta
kemungkinan mengemukakan berbagai teorinya secara
teoritis.
Kedua, dalam mencapai tujuannya, filsafat menggunakan
rasio dan intelektualnya, sementara mistik menggunakan
kalbu dan jiwa suci serta upaya spiritual terus menerus. Ini
di lakukan karena rasio atau intelek dianggap kurang
memadai untuk menggapai kebenaran hakiki.
Ketiga, tujuan
dalam filsafat adalah memahami alam semesta. Filosof ingin mendapat
gambaran tentang alam semesta yang benar,
sempurna, dan menyeluruh. Di mata filsafat,
capaian tertinggi manusia adalah mampu memahami dunia
sedemikian rupa sehingga --dalam eksistensi dirinya-- eksistensi
dunia inipun tegak dan dia sendiri menjadi dunia. Karena itu,
filsafat sering didefinisikan sebagai, ‘dunia mental manusia
yang menjadi sama dengan dunia yang ada’.
Sementara itu, dalam mistik,
persoalan intelek atau rasio tidak begitu
menarik. Seorang mistik ingin menjangkau hakekat eksistensi,
Allah sendiri. Ia ingin berjumpa dengan hakekat ini
dan
mengamatinya.
Menurut kaum mistik, capaian
tertinggi manusia adalah kembali kepada
asal-usulnya guna menghindari jarak antara
dirinya dengan Tuhan serta menghilangkan sifat- sifat
kemanusiaan untuk berusaha hidup abadi dalam Diri Tuhan.
Dalam pandangan kaum sufisme,
termasuk Ibn Arabi,
kebenaran ini terdiri atas tiga bagian, indera, rasio dan
intuisi Ibn Arabi mengakui bahwa indera dan rasio adalah sarana penting untuk mencapai kebenaran.
Akan tetapi, apa yang dicapai
indera dan rasio masih sangat terbatas. Indera hanya mampu
mengkaji sejauh apa yang tampak, yang kasat mata, yang itu
sangat rentan terhadap kesalahan.
Begitu pula rasio, meski
dengan kekuatannya mampu menjangkau rahasia yang ada dibalik
alam indera, ia masih belum --atau tidak-- mampu menjangkau
yang transenden.
Kekuatan indera maupun rasio baru
pada tahap mendekati yang hakiki, belum yang mencapai hakiki.
Atau menurut istilah Henry Bersogn, baru tahap
‘pengetahuan mengenai’ (knowledge about) belum ‘pengetahuan
tentang’ (knowledge of).
‘Pengetahuan tentang’ adalah pengetahuan diskursif,
pengetahuan simbol yang diperoleh lewat perantara; indera
atau rasio. ‘Pengetahuan
Metafisika / Pemikiran Ibn Arabi tentang’ adalah pengetahuan langsung,
pengetahuan intuitif yang diperoleh
secara langsung.
Karena itu, bagi Ibn Arabi yang
lebih sebagai sufis, tidak
ada jalan lain untuk bisa memahami realitas wujud yang hakiki
kecuali menyelami langsung lewat penghayatan (experience) dalam
mistik.
Pengetahuan intuitif yang di peroleh
lewat experence inilah pengetahuan yang sebenarnya, pengetahuan yang paling unggul dan pengetahuan
yang terpercaya.
Untuk mampu menangkap, menyelami
serta memahami rahasia dan hakekat wujud diatas, sebelumnya, seseorang sefistik harus membersihkan jiwanya (qalb) untuk kemudian menghadap pada Tuhan dengan
penuh cinta dan rindu. Ibn Arabi menetapkan lima tahapan secara
gradual untuk pembersihan hati ini.
(1) Membersihkan jiwa dengan
menjauhkan diri dari
segala perilaku dosa dan kemaksiatan disamping semakin rajin
dalam melakukan kebajikan;
(2) Meninggalkan seluruh -- pengaruh-- dunia;
menghentikan pemandangan terhadap aspek fenomena dunia
dan kesadaran terhadap aspek nyata yang menjadi dasar
fenomenanya;
(3) Menjauhkan diri dari atribut- atribut dan kualitas-kualitas
wujud kontingen dengan kesadaran bahwa semua itu adalah
kepunyaan Allah semata;
(4) Menghilangkan semua
hal yang ‘selain Allah’, tetapi tidak ‘menghilangkan’
tindakan itu sendiri. Disini sang mistis kehilangan
--atau menghilangkan-- kesadaran dirinya sendiri sebagai
orang yang memandang. Tuhan sendirilah yang memandang
sekaligus dipandang;
(5) Melepaskan atribut-atribut Tuhan serta
‘hubungan-hubungan’ dari atribut-atribut tersebut. Memandang
Tuhan lebih sebagai essensi daripada ‘Sebab Pertama’ dari
realitas semesta.27
Jika seseorang
telah mencapai derajat ittihad, kesatuan diri dengan
Tuhan, ia akan menerima ilmu langsung secara vertikal, dalam bentuk ilham Pengetahuannya datang
langsung lewat pancaran Tuhan (emanasi) yang tampak dalam
batinnya.
Begitu pula yang terjadi pada Ibn
Arabi, sehingga rujukan-rujukan dari tokoh sebelumnya hanya digunakan semata demi untuk menerangkan dan mengibaratkan pengalaman- pengalaman batinnya, bukan rujukan yang sesungguhnya, yang dalam hal ini Ibn Arabi sendiri tidak pernah terpaku pada salah satu tokoh filsafat.
Menurut Husain Nasr, pemaparan Ibn Arab banyak
mengikuti Al-Hallaj (858-913 M) dan filsafat Ibn Sina
(980-1037 M). Juga mengikuti teori-teori Neo-Epidocles yang
dikembangkan oleh Ibn Massarah (w. 923 M), Neo- Pithagoras
yang di kembangkan kelompok Ikwan as-Shafa maupun
Neo-Platonisme.
Sedemikian, sehingga menurut Affifi, pemikiran
metafisika Ibn Arabi tampak tidak beraturan, tidak konsisten
dan banyak mengambil pikiran-pikiran filsafat sebelumnya.
C. Essensi dan Eksistensi.
Menurut Ibn Arabi, eksistensi adalah ‘wujud’ dari essensi. Sesuatu bisa dianggap wujud atau ada jika termanifestasikan dalam apa yang disebut ‘tahapan wujud’ (marâthib al-wujûd), yang
terdiri atas 4 hal;
(1) eksis dalam wujud sesuatu (wujûd al-
syai’ fî ainih),
(2) eksis dalam pikiran atau
konsepsi (wujûd
al- syai’
fî al-ilm),
(3) eksis dalam ucapan (wujûd al-syai’ fî al-
alfazh),
(4) eksis dalam tulisan (wujûd al-syai’ fî
ruqûm).
Segala
sesuatu dianggap wujud jika ada
didalam salah satu empat ‘tahapan’ tersebut. Sesuatu yang
tidak ada diantaranya tidak bisa dianggap sebagai wujud,
dan karena itu tidak bisa dibicarakan.
Selanjutnya, apa yang wujud itu,
yang berarti punya
eksistensi, dalam perspektif ontologis Ibn Arabi, terbagi dalam
dua bagian; wujud mutlak dan wujud nisbi.
Wujud mutlak adalah suatu sesuatu yang
eksis dengan dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri, dan itu adalah
Tuhan. Wujud nisbi adalah sesuatu yang eksistensinya terjadi oleh dan
untuk wujud lain (wujûd
bi al-ghair).
Wujud nisbi ini terbagi dalam dua
bagian; wujud bebas dan wujud ‘bergantung’, yang
disebut kedua ini berupa atribut- atribut,
kejadian-kejadian dan hubungan-hubungan yang bersifat spesial
dan temporal. Sementara itu, wujud nisbi bebas berupa substansi-substansi,
dan ia terbagi dalam dua bagian; material dan spiritual.
Wujud
_________________________
Nisbi …………………………Mutlak
________________________________
Bebas ……………………….Bergantung
(substansi-substansi)
(Atribut-atribut,
kejadian- kejadian, dan hubungan- hubungan yang bersifat spesial dan temporal)
Material
……..Spiritual
Namun,
yang perlu dicatat, apa yang dianggap wujud nisbi diatas tidak sepenuhnya
‘entitas temporal’ melainkan juga ‘entitas permanen’ (al-a`yân al-tsâbitah)
sebagaimana wujud mutlak.
Dalam pandangan ibn
Arabi, semua yang ada dalam semesta ini, dalam semua keadaannya, telah ada dan
persis seperti apa yang ada dalam ilmu Tuhan, sedang ilmu Tuhan sendiri adalah
al- ayân al-tsâbitah. Setiap urusan dan apa yang ada dalam semesta tidak pernah
keluar dari rencana yang telah ditetapkan Tuhan sejak permulaan dalam ilmu-Nya.
Entitas-entitas
permanen (al-A`yân al-tsâbitah) diatas tidak pernah meninggalkan kepermanenanya
dan ketidak- beruhannya, karena entitas-entitas tersebut selamanya ada dalam
ilmu Tuhan, ada secara kekal dalam ‘kebesaran-Nya’.
Namun,
segala yang tampak riil dalam semesta ini juga tidak lain adalah aktualisasi
‘entitas-entitas permanen’. Karena itu, pada satu sisi, entitas-entitas yang
ada dalam ilmu Tuhan tidak berbeda dengan entitas-entitas yang tampak dalam
semesta, sebab apa yang terjadi dalam semesta adalah persis seperti apa yang
ada dalam ilmu-Nya.
Akan
tetapi, pada sisi yang lain, entitas-entitas dalam ilmu Tuhan berbeda dengan
entitas semesta, karena yang pertama tidak berwujud konkrit, bebas dari ruang
dan waktu, sedang yang keduany berwujud konkrit, dan terikat dengan ruang dan
waktu. Yang pertama bersifat potensial, ‘cetak biru’, sementara yang kedua
bersifat aktual, konkrit.
Metafisika/Pemikiran
Ibn Arabi
Meski demikian, menurut Kautsar,
dalam struktur ontologis Ibn Arabi, ‘entitas-entitas permanen’ tidak
juga sama dan sederajat dengan Dzat Tuhan, tetapi ada ‘dibawahnya’.
Tepatnya, ia menempati posisi tengah
antara Tuhan dan alam, antara keabsolutan-Nya dan semesta, sehingga ia bersifat
‘aktif’ sekaligus ‘pasif’. Aktif dalam hubungannya dengan apa yang lebih rendah
darinya, yakni alam semesta, dan aktif dalam hubungannya dengan yang lebih
tinggi, yakni diri Tuhan. Tarik menarik keduanya terjadi dalam apa yang disebut
sebagai proses
penampakan diri (tajalli) Tuhan, yang berarti sama dengan proses penciptaan
semesta dalam konsep emanasi.
Dengan
posisi tengah antara Al-Haqq (Tuhan) danal- khalq (ciptaan), entitas-entitas
permanen diatas adalah qadîm sekaligus hadîths. Qadîm karena ia adalah objek
ilmu Tuhan sejak azali, ada dalam dan bersama ilmu Tuhan tanpa ada permulaan
dalam waktu.
Tetapi
qadîm-nya tidak sama dengan qidam Tuhan, karena qadîm-nya entitas permanen
berasal dari dan tergantung pada qidam Tuhan. Sebaliknya, entitas permanen
dianggap hadîts karena ia muncul ‘kemudian’, mewujud dan menampakkan diri dalam alam nyata, yang
berkaitan dengan ruang dan waktu.
Jalan
tengah dan ‘sistem mendua’ (ambiguis) tersebut juga berlaku pada soal perbuatan
manusia, bahwa perbuatan manusia adalah jaba riyah sekaligus qada riyah.
Yakni, bahwa ‘perbuatan
manusia diciptakan oleh manusia, tetapi tidak oleh manusia’ atau ‘perbuatan
manusia diciptakan bukan oleh Tuhan tetapi oleh Tuhan’. Seperti dikatakan
Kautsar, ambiguitas dan paradoksal-sikalitas radikal adalah ciri khas sistem
berfikir Ibn Arabi.
Wahdat
al-Wujûd.
Dengan pemikiran bahwa
alam semesta adalah aktuasasi entitas-entitas permanen yang ada dalam ilmu
Tuhan, maka bagi Ibn Arabi, seluruh realitas yang ada ini, meski tampak
beragam, adalah hanya satu, yakni Tuhan sebagai satu-satunya realitas dan
realitas yang sesungguhnya.
Apapun
yang selain Dia tidak bisa dikatakan wujud dalam makna yang sebenarnya. Jika
demikian, bagaimana kedudukan ontologisa Al-khalq (alam ciptaan)? Apakah ia
identik dengan Tuhan, atau alam ini tidak mempunyai wujud sama sekali?
Kenyataannya alam dan kita ada secara konkrit.
Menghadapi persoalan
tersebut, seperti sistem berfikirnya yang paradoksal, jawaban Ibn Arabi
bersifat ambiguis, bahwa alam adalah Tuhan (al-Haqq) sekaligus bukan Tuhan,
atau menurut istilah Ibn Arabi sendiri, alam adalah ‘Dia dan bukan Dia’ (Huwa
lâ Huwa).
Bagi Ibn Arabi, alam
semesta adalah penampakan (tajalli) Tuhan, dan dengan demikian, segala sesuatu
dan segala yang ada didalamnya adalah entifikasi-Nya. Karena itu, Tuhan dan
semesta, keduanya tidak bisa difahami kecuali sebagai kesatuan antara
kontradiksi-kontradiksi ontologis.
Kontradiksi-kontradiksi
ini tidak hanya bersifat horisontal tetapi juga vertikal. Hal ini tampak
sebagaimana uraian al-Qur`an, bahwa Tuhan adalah Yang Tersembunyi (al- Bathîn) sekaligus Yang Tampak (al-dzahîr),
Yang Esa (al-Wahîd) sekaligus Yang
Banyak (al-Katsîr), Yang Terdahulu (al-Qadîm) sekaligus Yang Baru (al-Hadîts),
Yang Ada (al-Wujûd) sekaligus Yang Tiada (al-`Adam).38
Dalam
pandangan Ibn Arabi, realitas adalah satu tetapi mempunyai sifat yang berbeda;
sifat ketuhanan sekaligus sifat kemakhlukan, temporal sekaligus abadi, nisbi
sekaligus permanen, eksistensi sekaligus non-eksistensi. Dua sifat yang
bertentangan tersebut hadir secara bersamaan dalam segala sesuatu yang ada di
alam.
Disini
Ibn Arabi menggunakan prinsip al-Jam’u bayn al-Addâd (kesatuan diantara
pertentangan- pertentangan), atau yang dalam filsafat Barat disebut coincidentia oppositorum.
Untuk
menjelaskan hubungan ontologis Tuhan dan semesta tersebut, Ibn Arabi, antara
lain, menggunakan simbol cermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. Simbol
ini, pertama, untuk menjelaskan sebab penciptaan alam, yakni bahwa penciptaan ini adalah sarana untuk
memperlihatkan diri- Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia
adalah ‘harta simpanan’ (kanz makhfi) yang tidak bisa dikenali kecuali lewat
alam, sesuai dengan hadis Rasul yang menyatakan hal itu.
Kedua, untuk menjelaskan hubungan Yang Satu dengan yang banyak dan
beragam dalam semesta. Yakni bahwa Tuhan yang bercermin adalah satu, tetapi
gambar-Nya amat banyak dan beragam sesuai dengan jumlah dan model cermin
tersebut.
Apa yang
tampak dalam cermin adalah Dia, sama sekali bukan selainnya, tetapi bukan Dia
yang sesungguhnya.
Penggambaran
diatas sejalan dengan penyatuan dua paradigmat asy bîh danta nzî h yang
digunakan Ibn Arabi. Dari segitas yb îh, Tuhan sama dengan alam, karena alam
tidak lain adalah perwujudan dan aktualiasi sifat-sifat-Nya; dari segit anz îh
Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat oleh ruang dan waktu sedang
Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas,
Ibn Arabi menyatakan ‘Huwa
la Huwa’ (Dia bukan Dia --yang kita bayangkan). Sedekat-dekat manusia menyatu
(ittihad) dengan- Nya, tetap tidak pernah benar-benar menyatu dengan Tuhan. Ia
hanya menyatu dengan asma-asma-Nya, menyatu dengan ‘bayangan-Nya’, bukan dengan
Zat-Nya. Tuhan terlalu tinggi untuk dicapai. Segala uraian tentang-Nya, adalah
kebohongan, pengkerdilan dan pembatasan.
Penutup.
Dari
segi epistemologis, tampaknya ada pergeseran atau perkembangan pada sistem
pemikiran Ibn Arabi. Awalnya cenderung paripathetik, Aristotelian, ketika
menyatakan bahwa eksistensi adalah ‘patokan’ segala sesuatu.
Kemudian
berubah menjadi Platonis, dengan pendapatnya bahwa wujud yang sebenarnya bukan
pada sesuatu yang tampak nyata dan konkrit ini tetapi pada yang transenden dan
itu hanya satu, yakni Tuhan.
Terakhir,
berubah lagi menjadi paduan antara Platonis dan Aristotelian, yakni bahwa
realitas adalah perpaduan antara yang transenden dan yang nyata (wahdat
al-wujûd), meski dengan pemikiran yang khas Arabian.
Pemikiran kesatuan
realitas (wahdat al-wujûd) adalah gagasan orisinal Ibn Arabi.
Meski
dasar-dasar gagasan ini diambil dari pemikiran ittihâd (penyatuan manusia
dengan Tuhan) al-Hallaj (858-913 M), tetapi ia berbeda dengannya. (1)
Dalam
teori al-Hallaj, persoalan yang ditekankan hanya hubungan antara Tuhan
(al-Lâhût) dan manusia (al-Nâsût), bahwa sifat kemanusiaan hadir pada Tuhan dan
sifat ketuhanan hadir hanya pada manusia, tidak pada yang lain;
Dalam
teori Ibn Arabi menjadi lebih luas, yakni hubungan antara Tuhan (al-Haqq) dan
semesta (al-Khalq). (2) Dalam teori al-Hallaj masih ada dualisme manusia dan
Tuhan, dalam Ibn Arabi dualisme tersebut tidak ada, kecuali dualisme semu, nisbi;
yang ada hanya
keesaan. Yakni keesaan dengan dua wajah seperti satu mata uang. Dari
satu aspek, realitas itu adalah Yang Benar, Pelaku dan Pencipta; dari aspek
lain, ia adalah ciptaan, penerima dan makhluk.
Konsep
ini selangkah lebih ‘berani’ dibanding gagasan emanasi al-Farabi atau yang
lain, karena dalam emanasi masih ada jarak dan perbedaan antara Tuhan dan
makhluk, baik dari kualitas maupun kuantitas; sementara dalam wahdat al-wujûd tidak ada lagi
jarak diantara keduanya. Namun, itu bukan berarti semesta identik dengan Tuhan.
Alam tidak lain hanya perwujudan dari asma-asma-Nya sebagaimana diikrarkan
dalam syahadah Lailaha illallah. Yakni pengakuan bahwa mahluk-Nya bukanlah
Tuhan tetapi keberadaan-Nya juga tidak tersamai oleh selain-Nya, sehingga tidak
satupun wujud yang mandiri dan lepas dari-Nya.
NOTA KAKI
Tulisan ini tidak
akan melibatkan diri dan tidak akan menambah jumlah orang yang berpolemik
ataupun menilai apakah wahdah al-wujud termasuk pantheisme atau tidak, tetapi
sekedar menyatakan bahwa ‘wahdah al-wujud’ (kesatuan realitas) adalah gagasan
terpenting dari metafisika Ibn Arabi.
Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan wahdat al-wujud
ini menjadi sebuah teori ‘besar’ tantang proses penciptaan semesta yang
ditelorkan oleh Hamzah Fansuri
dan Nuruddin Sumatrani dengan istilah ‘martabat tujuh’; ahadiyah,
wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam dan insan. Lebih jelas
masalah ini, lihat Simuh, Sufisme Jawa Transformasi
Tasawuf Islam ke
Mistik, (Yogya, Bentang, 1989); Harun Hadiwiyono, Kebatinan Islam Abad XVI, (Jakarta, Gunung Mulia, 1985). Tentang
bagaimana proses dari Ibn Arabi dan Ibrahim Al- Jilli sampai kepada Hamzah Fansuri, lihat
Mastuki HS, ‘Neo-Sufisme di Nusantara
Kesinambungan dan
Perubahan’, dalam Jurnal Ulum Alqur’an, edisi 6/VII/1997. 2 Azhari Noer, Ibn
Arabi Wahdat al-Wujud dalam perdebatan, (Jakarta, Paramadina, 1995), 34 dan
seterusnya.
3 Harus dibedakan
dengan Ibn Arabi yang lain, yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad ibn
Abdillah ibn Arabi al-Ma`afiri (468-543 H/ 1076-1148 M). Ia juga tokoh muslim
yang lahir di Spanyol. Namun, yang ini bukan tokoh sufi, tapi seorang ahli hadis
di Sevilla yang kemudian menjadi hakim disana. Untuk referensi lihat, Kautsar
Azhari Noer, Ibn al-Arabi, 17; J. Robson, ‘Ibn al-Arabi’ dalamThe Encylopaedia
of Islam, New Edition, (London dan Laiden: Luzac dan Brill, 1979), III, 707.
Akan tetapi, S. Husain
Nasr menyebut nama lengkap Ibn Arabi tokoh sufi ini dengan nama Ibn Arabi lain
yang dianggap sebagai tokoh hadits diatas, dengan tahun lahir 570 H/ 1165 M.
Lihat, Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, (Bandung, Risalah, 1986), 127.
4 Kautsar Azhari
Noer, Ibn Arabi, 17.
5 Affifi, Filsafat Mistis Ibn Arabi, terj. Nandi
Rahman, (Jakarta, Media Pratama, 1989),
Arbery menggelari
dengan ‘The greatest mystical genius of the Arab’ pada Ibn Arabi, karena
prestasi-prestasi yang dihasilkannnya. Lihat, Arbery,Sufism An Account of the
Mystics of Islam, (London, Unwin Paperback, 1975), 97.
7 Akan tetapi, menurut Taftazani, Ibn Arabi
wafat dan dikebumikan di Hijaz, bukan di Damascus .
Lihat, Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. A. Rafi Usman, (Bandung,
Pustaka, 1985), 201. Namun, kebanyakan sumber dan bukti-bukti tidak mendukung
pendapat ini. Pendapat Taftazani ini, mungkin, terkaburkan oleh nama Ibn Arabi
yang lain sebagaimana yang terjadi pada Husain Nahr diatas, mengingat memang
tidak jarang dijumpai nama yang sama dalam satu persoalan.
8 Kautsar, Ibn
Arabi, 18.
9 Ibn Arabi, Futuhât al-Makiyah, II, (Bairut,
Dar al-Fikr, tt), 425. Diantara gurunya yang sangat dikagumi adalah dua orang
wanita; Yasmin Mursaniyah dari Marchena dan Fatimah Qurthubiyah dari Kordova.
Keduanya berpengaruh besar dalam pembentukan (pengarahan) kepada kehidupannya.
Tentang kehidupan kedua guru wanita ini, lihat Ibn Arabi,Su fi - Su fi Andalusia ,
terj. Nasrullah (Bandung, Mizan, 1994).
10 Tentang dialok
antara Ibn Arabi dengan Ibn Rusyid ini, lihatFut uh ât, I, 153; Lihat pula,
Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, 128-129. Dengan demikian, dalam pertemuan
tersebut bukan Ibn Arabi berguru pada Ibn Rusyd, seperti yang dikatakan
al-Qarni, meski diakui bahwa pertemuan itu sendiri diatur oleh ayah Ibn Arabi
atas permintaan Ibn Rusyd. Lihat al-Qarni, Muhy al-Dîn Ibn al-Arabi, (Mesir, Haniah li
al-kitab, 1987), 26
Uraian tentang
kenyataan bahwa Ibn Arabi adalah seorang mistikus sekaligus filosof bisa
dilihat pada Franz Rosenthal, Ibn Arabi between Philosophy and Mysticism,
(Laiden, Brill, 1998), 1-35.
13 Ibn Arabi,Fut uh ât , IV, 129.
14 Kutsar, Ibn Arabi, 19.
15 Menurut Ibn Arabi, penulisan kitab ini didektekan
langsung oleh Tuhan lewat ilham, kata per kata. Lihat Annemarie Schimmel,
Rahasia Wajah Suci Ilahi, terj. Rahmani Astuti, (Bandung, Mizan, 1996), 319.
16 Ibn Arabi,Fut uh
ât , IV, 560.
17 Pengangkatan
ini, yang pertama di Seville
(580/1184), kedua di Makkah (599/1202).
18 Suhrawardi ini bukan Suhrawardi al-Maqtul
tokoh Filsafat Illuminasi (Syaikh al- Isyraq) seperti yang dikatakan Husain
Nasr, ¤alasa Hukuma al-Islam, 132. Suhrawardi tokoh Emanasi telah dihukum mati
tahun 587/1191 M; lebih jelas tentang ajarannya, lihat Husaien Ziai, Suhrawardi
dan Filsafat Illuminasi, terj. Afif Muhammad, (Bandung, Zaman Wacana Mulia,
1998)
Ibn Arabi, Fushûs
al-Hikâm, (Bairut, Dar al-Kitab), I, 47. Menurut pengakuan Ibn Arabi, kitab ini
diberikan oleh Rasulullah. Secara lengkap, dalam mukaddimah kitab ini dkatakan,
‘Aku mimpi melihat Rasul dalam kegembiraan pada hari-hari sepuluh terakhir
bulan Muharram, tahun 627 H, di pinggiran Damascus dan di tanggannya ada sebuah
kitab. Beliau berkata, ‘Ini kitab Fushûs Al-Hikâm. Ambillah...Sampaikan kepada
masyarakat agar mereka memanfaatkannya..’.
Kitab Fushûsh
al-Hikam dianggap sebagai wasiat keruhanian, berisi 27 bab yan masing- masing
terspesialisasi untuk satu akidah kebatinan asasi menurut Islam. Kitab ini
sendiri telah banyak diberi komentar (syarah). Diantara yang terkenal, menurut
Husain Nasr, adalah komentar dari ¢adruddin Qanawi, Abdurrazaq Kasyani, daud
Qaishari, Abdul Ghani dan Abdurrahman Jami. Semua tokoh sufi abad-abad
belakangan. Husain Nasr, Tiga pemikir Islam, 174.
20 Kautsar, Ibn Arabi, 24. Tentang riwayat hidup
tokoh ini, secara panjang lebar bisa juga dilihat pada Pendahuluan yang
diberikan Austin
pada karya Ibn Arabi, Sufi-sufi Andalusia ,
terj. Nasrullah, (Bandung, Mizan, 1994).
21 Kautsar, Ibn Arabi, 25.
22 Mutahhari, Meniti Jalan Spiritual, terj.
Nasrullah, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997)
Tiga macam dan
tingkat ilmu pengetahuan ini sama sebagaimana yang disampaikan al- Ghazali
dalam karya otobigrafi intelektualnya. Disana al-Ghazali membagi tingkatan ilmu
menjadi tiga; berdasarkan indera, rasio dan intuitif. Menurutnya, indera adalah
sarana paling rendah dalam kajian pengetahuan; diatas ilmu berdasarkan rasio
dan diatasnya lagi adalah intuitif. Al-Ghazali akhirnya memilih sufisme karena
menganggap bahwa ilmu hasil mistik inilah ilmu yang sebenarnya yang tidak
mengenal keraguan dan tidak terbantahkan. Lihat Al- Ghazali, Al-Munqid min
al-Dlalâl, (Bairut, Maktabah As-Syaksiyah, tt).
24 Lihat Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj.
Soejono Soemargono, (Yogya, Tiara Wacana
Sebelumnya,
al-Ghazali (1085-1111 M) menyebutkan tiga tahapan untuk mencapai pengetahuan
yang hakiki (intuitif);t a kh l i ya h (pensucian diri),ta hl i y ah
(penghiasan diri dengan banyak melakukan kebajikan) danta j li ya h (tahap siap
menerimaan tajalli). Lebih jelas tentang bagaimana seseorang mesti menjalani
tahapan-tahapan ini, lihat Al-Ghazali, Adâb fi al-Dîn, (Bairut, Al-Maktabah
As-Syakbiyah, tt).
27 Tahapan-tahapan mistis yang digunakan Ibn
Arabi ini, tidak berbeda jauh, atau bahkan mungkin sama dengan metode
fenomenologi yang disampaikan Edmund Husserl (1859-1938 M), yang melalui tiga
tahapan reduksi; reduksi fenomenologis, reduksi aiditis dan reduksi
transendental. Menurut Husserl, reduksi fenomenologis adalah suatu bentuk pengamatan
awal dimana objek dipandang ‘apa adanya’ tapi penuh dengan ‘kecurigaan’. Objek
dibiarkan tanpa diberi statemen dan diletakkan didalam kesadaran. Jika
berhasil, seseorang akan menemukan fenomen yang sebenarnya; mengenal gejala
dalam dirinya sendiri. Setelah itu masuk tahap kedua; reduksi aidetis,
penyaringan segala sesuatu yang bukan menjadi hakekat fenomena. Reduksi kedua
ini berusaha masuk dalam hakekat fenomen. Reduksi ketiga; transendental,
mengeluarkan segala yang tidak berhubungan dengan kesadaran murni, agar dengan
objek tersebut seseorang bisa mencapai dirinya sendiri. Jelasnya, moden ini
diterapkan pada sobjek sendiri dan pada perbuatannya, pada kesadaran murninya
untuk menemukan yang hakekat
Ini bisa dilihat
dari pengakuannya, misalnya, saat menulis kitab Futûh al-Makiyah yang diklaim
didektekan sendiri oleh Tuhan, kata per kata. Juga penulisan kitab Fushûsh Al- Hikam yang diajarkan langsung oleh Rasulullah.
Lihat catatan kaki diatas Ibn Arabi,Fut ûh ât, II, 160.
38 Ibrahim Al-Jilli, Al-Insân al-Kâmil, I, 37-40.
Al-Jilli, salah seorang murid terkemuka yang
banyak menjelaskn pemikiran Ibn Arabi, menguraikannya secara bagus dan mudah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan