Isnin, 12 November 2012

PENGANTAR kepada MEMAHAMI PEMIKIRAN IBNU ARABI 2


PENGANTAR kepada MEMAHAMI PEMIKIRAN IBNU ARABI 2


KESATUAN REALITAS……..Pemikiran Ibn Arabi.
Dikutip dari Buku WACANA BARU FILSAFAT ISLAM
Penulis: A Khudori Soleh

Kesatuan realitas ( wahdat al-wujûd ) adalah salah satu gagasan paling kontroversial dalam metafisika, khususnya metafisika mistik. Pemikiran ini dicetuskan oleh Ibn Arabi.1

Akan tetapi, menurut Kautsar Azhari Noer, 2 Ibn Arabi sendiri, sebenarnya, secara formal tidak pernah menggunakan kata-kata  wahdah al-wujûd dalam tulisan-tulisannya. Orang pertama yang  menggunakan istilah ini, meski tidak sebagai istilah teknis dan independen, adalah Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274 M). Hanya saja, ajaran-ajaran Ibn Arabi tentang realitas bisa memberi pemaknaan kearah itu.
Antara Mistik dan Filsafat.

Ibn Arabi adalah tokoh mistik yang menuliskan pengalaman ruhaninya lewat cara fikir filsafat. Mistik (sufisme) adalah sebuah pencarian kebenaran lewat jalan experience (penghayatan) dengan atas dasar cinta.

Perbedaan Sufisme dengan Filsafat,

Menurut Mutahhari, pertama, filsafat  meminjakkan  argumennya  pada  postulat postulatnya,  sementara mistik mendasarkan argumennya pada visi dan  intuisi serta kemungkinan mengemukakan berbagai teorinya secara teoritis.

Kedua, dalam mencapai tujuannya, filsafat menggunakan rasio dan intelektualnya, sementara mistik menggunakan kalbu dan jiwa suci serta upaya spiritual terus menerus. Ini di lakukan karena rasio atau intelek dianggap kurang memadai untuk menggapai kebenaran hakiki.

Ketiga, tujuan dalam filsafat adalah memahami alam  semesta. Filosof ingin mendapat gambaran tentang alam semesta yang benar, sempurna, dan menyeluruh. Di mata filsafat, capaian tertinggi manusia adalah mampu memahami dunia sedemikian rupa sehingga --dalam eksistensi dirinya-- eksistensi dunia inipun tegak dan dia sendiri menjadi dunia. Karena itu, filsafat sering didefinisikan sebagai, ‘dunia mental manusia yang menjadi sama dengan dunia yang ada’.

Sementara itu, dalam mistik, persoalan intelek atau rasio tidak begitu menarik. Seorang mistik ingin menjangkau hakekat eksistensi, Allah sendiri. Ia ingin berjumpa dengan hakekat ini dan mengamatinya.

Menurut kaum mistik, capaian tertinggi manusia adalah kembali kepada asal-usulnya guna menghindari jarak antara dirinya dengan Tuhan serta menghilangkan sifat- sifat kemanusiaan untuk berusaha hidup abadi dalam Diri Tuhan.

Dalam pandangan kaum sufisme, termasuk Ibn Arabi, kebenaran ini terdiri atas tiga bagian, indera, rasio dan intuisi Ibn Arabi mengakui bahwa indera dan rasio adalah sarana penting untuk mencapai kebenaran.
Akan tetapi, apa yang dicapai indera dan rasio masih sangat terbatas. Indera hanya mampu mengkaji sejauh apa yang tampak, yang kasat mata, yang itu sangat rentan terhadap kesalahan.

Begitu pula rasio, meski dengan kekuatannya mampu menjangkau rahasia yang ada dibalik alam indera, ia masih belum --atau tidak-- mampu menjangkau yang transenden.

Kekuatan indera maupun rasio baru pada tahap mendekati yang hakiki, belum yang mencapai hakiki. Atau menurut istilah Henry Bersogn, baru tahap ‘pengetahuan  mengenai’  (knowledge about) belum ‘pengetahuan tentang’ (knowledge of). ‘Pengetahuan tentang’ adalah pengetahuan diskursif, pengetahuan simbol yang diperoleh lewat perantara; indera atau rasio. ‘Pengetahuan  Metafisika / Pemikiran Ibn Arabi  tentang’ adalah pengetahuan langsung, pengetahuan intuitif  yang diperoleh secara langsung.

Karena itu, bagi Ibn Arabi yang lebih sebagai sufis, tidak ada jalan lain untuk bisa memahami realitas wujud yang hakiki kecuali menyelami langsung lewat penghayatan (experience) dalam mistik.

Pengetahuan intuitif yang di peroleh lewat experence inilah pengetahuan yang sebenarnya, pengetahuan yang paling unggul dan pengetahuan yang terpercaya.

Untuk mampu menangkap, menyelami serta memahami rahasia dan hakekat wujud diatas, sebelumnya, seseorang sefistik harus membersihkan jiwanya (qalb) untuk kemudian menghadap pada Tuhan dengan penuh cinta dan rindu. Ibn Arabi menetapkan lima tahapan secara gradual untuk pembersihan hati ini.

(1) Membersihkan jiwa dengan menjauhkan diri dari segala perilaku dosa dan kemaksiatan disamping semakin rajin dalam melakukan kebajikan;

(2) Meninggalkan seluruh -- pengaruh-- dunia; menghentikan pemandangan terhadap aspek fenomena dunia dan kesadaran terhadap aspek nyata yang menjadi dasar fenomenanya;

(3) Menjauhkan diri dari atribut- atribut dan kualitas-kualitas wujud kontingen dengan kesadaran bahwa semua itu adalah kepunyaan Allah semata;

(4) Menghilangkan semua hal yang ‘selain Allah’, tetapi tidak ‘menghilangkan’ tindakan itu sendiri. Disini sang mistis kehilangan --atau menghilangkan-- kesadaran dirinya sendiri sebagai orang yang memandang. Tuhan sendirilah yang memandang sekaligus dipandang;

(5) Melepaskan atribut-atribut Tuhan serta ‘hubungan-hubungan’ dari atribut-atribut tersebut. Memandang Tuhan lebih sebagai essensi daripada ‘Sebab Pertama’ dari realitas semesta.27

Jika seseorang telah mencapai derajat ittihad, kesatuan diri dengan Tuhan, ia akan menerima ilmu langsung secara vertikal, dalam bentuk ilham Pengetahuannya datang langsung lewat pancaran Tuhan (emanasi) yang tampak dalam batinnya.

Begitu pula yang terjadi pada Ibn Arabi, sehingga rujukan-rujukan dari tokoh sebelumnya hanya digunakan semata demi untuk menerangkan dan mengibaratkan pengalaman- pengalaman batinnya, bukan rujukan yang sesungguhnya, yang dalam hal ini Ibn Arabi sendiri tidak pernah terpaku pada salah satu tokoh filsafat.

Menurut Husain Nasr, pemaparan Ibn Arab banyak mengikuti Al-Hallaj (858-913 M) dan filsafat Ibn Sina (980-1037 M). Juga mengikuti teori-teori Neo-Epidocles yang dikembangkan oleh Ibn Massarah (w. 923 M), Neo- Pithagoras yang di kembangkan kelompok Ikwan as-Shafa maupun Neo-Platonisme.
Sedemikian, sehingga menurut Affifi,  pemikiran metafisika Ibn Arabi tampak tidak beraturan, tidak konsisten dan banyak mengambil pikiran-pikiran filsafat sebelumnya.

C. Essensi dan Eksistensi.

Menurut Ibn Arabi, eksistensi adalah ‘wujud’ dari essensi. Sesuatu bisa dianggap wujud atau ada jika termanifestasikan dalam apa yang disebut ‘tahapan wujud’ (marâthib al-wujûd), yang terdiri atas 4 hal;

(1) eksis dalam wujud sesuatu (wujûd al-  syai’ fî ainih),

(2) eksis dalam pikiran atau konsepsi (wujûd al- syai’ fî al-ilm),

(3) eksis dalam ucapan (wujûd al-syai’ fî al- alfazh),

(4) eksis dalam tulisan (wujûd al-syai’ fî ruqûm).

Segala  sesuatu dianggap wujud jika ada didalam salah satu empat ‘tahapan’ tersebut. Sesuatu yang tidak ada diantaranya tidak bisa dianggap sebagai wujud, dan karena itu tidak bisa dibicarakan.

Selanjutnya, apa yang wujud itu, yang berarti punya eksistensi, dalam perspektif ontologis Ibn Arabi, terbagi dalam dua bagian; wujud mutlak dan wujud nisbi.

Wujud mutlak adalah suatu sesuatu yang eksis dengan dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri, dan itu adalah Tuhan. Wujud nisbi adalah sesuatu yang eksistensinya terjadi oleh dan untuk wujud lain (wujûd bi al-ghair).

Wujud nisbi ini terbagi dalam dua bagian; wujud bebas  dan wujud ‘bergantung’, yang disebut kedua ini berupa atribut- atribut, kejadian-kejadian dan hubungan-hubungan yang bersifat spesial dan temporal. Sementara itu, wujud nisbi bebas berupa substansi-substansi, dan ia terbagi dalam dua bagian; material  dan spiritual.

Wujud
_________________________
Nisbi …………………………Mutlak
________________________________
Bebas ……………………….Bergantung
(substansi-substansi)
(Atribut-atribut, kejadian- kejadian, dan hubungan- hubungan yang bersifat spesial dan temporal)

Material ……..Spiritual

Namun, yang perlu dicatat, apa yang dianggap wujud nisbi diatas tidak sepenuhnya ‘entitas temporal’ melainkan juga ‘entitas permanen’ (al-a`yân al-tsâbitah) sebagaimana wujud mutlak.

Dalam pandangan ibn Arabi, semua yang ada dalam semesta ini, dalam semua keadaannya, telah ada dan persis seperti apa yang ada dalam ilmu Tuhan, sedang ilmu Tuhan sendiri adalah al- ayân al-tsâbitah. Setiap urusan dan apa yang ada dalam semesta tidak pernah keluar dari rencana yang telah ditetapkan Tuhan sejak permulaan dalam ilmu-Nya.

Entitas-entitas permanen (al-A`yân al-tsâbitah) diatas tidak pernah meninggalkan kepermanenanya dan ketidak- beruhannya, karena entitas-entitas tersebut selamanya ada dalam ilmu Tuhan, ada secara kekal dalam ‘kebesaran-Nya’.

Namun, segala yang tampak riil dalam semesta ini juga tidak lain adalah aktualisasi ‘entitas-entitas permanen’. Karena itu, pada satu sisi, entitas-entitas yang ada dalam ilmu Tuhan tidak berbeda dengan entitas-entitas yang tampak dalam semesta, sebab apa yang terjadi dalam semesta adalah persis seperti apa yang ada dalam ilmu-Nya.

Akan tetapi, pada sisi yang lain, entitas-entitas dalam ilmu Tuhan berbeda dengan entitas semesta, karena yang pertama tidak berwujud konkrit, bebas dari ruang dan waktu, sedang yang keduany berwujud konkrit, dan terikat dengan ruang dan waktu. Yang pertama bersifat potensial, ‘cetak biru’, sementara yang kedua bersifat aktual, konkrit.

Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi

Meski demikian, menurut Kautsar,  dalam struktur ontologis Ibn Arabi, ‘entitas-entitas permanen’ tidak juga sama dan sederajat dengan Dzat Tuhan, tetapi ada ‘dibawahnya’.

Tepatnya, ia menempati posisi tengah antara Tuhan dan alam, antara keabsolutan-Nya dan semesta, sehingga ia bersifat ‘aktif’ sekaligus ‘pasif’. Aktif dalam hubungannya dengan apa yang lebih rendah darinya, yakni alam semesta, dan aktif dalam hubungannya dengan yang lebih tinggi, yakni diri Tuhan. Tarik menarik keduanya terjadi dalam apa yang disebut sebagai proses penampakan diri (tajalli) Tuhan, yang berarti sama dengan proses penciptaan semesta dalam konsep emanasi.

Dengan posisi tengah antara Al-Haqq (Tuhan) danal- khalq (ciptaan), entitas-entitas permanen diatas adalah qadîm sekaligus hadîths. Qadîm karena ia adalah objek ilmu Tuhan sejak azali, ada dalam dan bersama ilmu Tuhan tanpa ada permulaan dalam waktu.

Tetapi qadîm-nya tidak sama dengan qidam Tuhan, karena qadîm-nya entitas permanen berasal dari dan tergantung pada qidam Tuhan. Sebaliknya, entitas permanen dianggap hadîts karena ia muncul ‘kemudian’, mewujud dan  menampakkan diri dalam alam nyata, yang berkaitan dengan  ruang dan waktu.

Jalan tengah dan ‘sistem mendua’ (ambiguis) tersebut juga berlaku pada soal perbuatan manusia, bahwa perbuatan manusia adalah jaba riyah sekaligus qada riyah.

Yakni, bahwa ‘perbuatan manusia diciptakan oleh manusia, tetapi tidak oleh manusia’ atau ‘perbuatan manusia diciptakan bukan oleh Tuhan tetapi oleh Tuhan’. Seperti dikatakan Kautsar, ambiguitas dan paradoksal-sikalitas radikal adalah ciri khas sistem berfikir Ibn Arabi.

Wahdat al-Wujûd.

Dengan pemikiran bahwa alam semesta adalah aktuasasi entitas-entitas permanen yang ada dalam ilmu Tuhan, maka bagi Ibn Arabi, seluruh realitas yang ada ini, meski tampak beragam, adalah hanya satu, yakni Tuhan sebagai satu-satunya realitas dan realitas yang sesungguhnya.

Apapun yang selain Dia tidak bisa dikatakan wujud dalam makna yang sebenarnya. Jika demikian, bagaimana kedudukan ontologisa Al-khalq (alam ciptaan)? Apakah ia identik dengan Tuhan, atau alam ini tidak mempunyai wujud sama sekali? Kenyataannya alam dan kita ada secara konkrit.

Menghadapi persoalan tersebut, seperti sistem berfikirnya yang paradoksal, jawaban Ibn Arabi bersifat ambiguis, bahwa alam adalah Tuhan (al-Haqq) sekaligus bukan Tuhan, atau menurut istilah Ibn Arabi sendiri, alam adalah ‘Dia dan bukan Dia’ (Huwa lâ Huwa).

Bagi Ibn Arabi, alam semesta adalah penampakan (tajalli) Tuhan, dan dengan demikian, segala sesuatu dan segala yang ada didalamnya adalah entifikasi-Nya. Karena itu, Tuhan dan semesta, keduanya tidak bisa difahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi ontologis.

Kontradiksi-kontradiksi ini tidak hanya bersifat horisontal tetapi juga vertikal. Hal ini tampak sebagaimana uraian al-Qur`an, bahwa Tuhan adalah Yang Tersembunyi (al-  Bathîn) sekaligus Yang Tampak (al-dzahîr), Yang Esa (al-Wahîd)  sekaligus Yang Banyak (al-Katsîr), Yang Terdahulu (al-Qadîm) sekaligus Yang Baru (al-Hadîts), Yang Ada (al-Wujûd) sekaligus Yang Tiada (al-`Adam).38

Dalam pandangan Ibn Arabi, realitas adalah satu tetapi mempunyai sifat yang berbeda; sifat ketuhanan sekaligus sifat kemakhlukan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaligus permanen, eksistensi sekaligus non-eksistensi. Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir secara bersamaan dalam segala sesuatu yang ada di alam.

Disini Ibn Arabi menggunakan prinsip al-Jam’u bayn al-Addâd (kesatuan diantara pertentangan- pertentangan), atau yang dalam filsafat Barat disebut  coincidentia oppositorum.

Untuk menjelaskan hubungan ontologis Tuhan dan semesta tersebut, Ibn Arabi, antara lain, menggunakan simbol cermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. Simbol ini, pertama, untuk menjelaskan sebab penciptaan alam, yakni  bahwa penciptaan ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri- Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia adalah ‘harta simpanan’ (kanz makhfi) yang tidak bisa dikenali kecuali lewat alam, sesuai dengan hadis Rasul yang menyatakan hal itu.

Kedua, untuk menjelaskan hubungan Yang Satu dengan yang banyak dan beragam dalam semesta. Yakni bahwa Tuhan yang bercermin adalah satu, tetapi gambar-Nya amat banyak dan beragam sesuai dengan jumlah dan model cermin tersebut

Apa yang tampak dalam cermin adalah Dia, sama sekali bukan selainnya, tetapi bukan Dia yang sesungguhnya.

Penggambaran diatas sejalan dengan penyatuan dua paradigmat asy bîh danta nzî h yang digunakan Ibn Arabi. Dari segitas yb îh, Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah perwujudan dan aktualiasi sifat-sifat-Nya; dari segit anz îh Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat oleh ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas,

Ibn Arabi menyatakan ‘Huwa la Huwa’ (Dia bukan Dia --yang kita bayangkan). Sedekat-dekat manusia menyatu (ittihad) dengan- Nya, tetap tidak pernah benar-benar menyatu dengan Tuhan. Ia hanya menyatu dengan asma-asma-Nya, menyatu dengan ‘bayangan-Nya’, bukan dengan Zat-Nya. Tuhan terlalu tinggi untuk dicapai. Segala uraian tentang-Nya, adalah kebohongan, pengkerdilan dan pembatasan.

Penutup.

Dari segi epistemologis, tampaknya ada pergeseran atau perkembangan pada sistem pemikiran Ibn Arabi. Awalnya cenderung paripathetik, Aristotelian, ketika menyatakan bahwa eksistensi adalah ‘patokan’ segala sesuatu.

Kemudian berubah menjadi Platonis, dengan pendapatnya bahwa wujud yang sebenarnya bukan pada sesuatu yang tampak nyata dan konkrit ini tetapi pada yang transenden dan itu hanya satu, yakni Tuhan.

Terakhir, berubah lagi menjadi paduan antara Platonis dan Aristotelian, yakni bahwa realitas adalah perpaduan antara yang transenden dan yang nyata (wahdat al-wujûd), meski dengan pemikiran yang khas Arabian.

Pemikiran kesatuan realitas (wahdat al-wujûd) adalah gagasan orisinal Ibn Arabi.

Meski dasar-dasar gagasan ini diambil dari pemikiran ittihâd (penyatuan manusia dengan Tuhan) al-Hallaj (858-913 M), tetapi ia berbeda dengannya. (1)

Dalam teori al-Hallaj, persoalan yang ditekankan hanya hubungan antara Tuhan (al-Lâhût) dan manusia (al-Nâsût), bahwa sifat kemanusiaan hadir pada Tuhan dan sifat ketuhanan hadir hanya pada manusia, tidak pada yang lain;

Dalam teori Ibn Arabi menjadi lebih luas, yakni hubungan antara Tuhan (al-Haqq) dan semesta (al-Khalq). (2) Dalam teori al-Hallaj masih ada dualisme manusia dan Tuhan, dalam Ibn Arabi dualisme tersebut tidak ada, kecuali dualisme semu, nisbi; yang ada hanya keesaan. Yakni keesaan dengan dua wajah seperti satu mata uang. Dari satu aspek, realitas itu adalah Yang Benar, Pelaku dan Pencipta; dari aspek lain, ia adalah ciptaan, penerima dan makhluk.

Konsep ini selangkah lebih ‘berani’ dibanding gagasan emanasi al-Farabi atau yang lain, karena dalam emanasi masih ada jarak dan perbedaan antara Tuhan dan makhluk, baik dari kualitas maupun kuantitas; sementara dalam wahdat al-wujûd tidak ada lagi jarak diantara keduanya. Namun, itu bukan berarti semesta identik dengan Tuhan. Alam tidak lain hanya perwujudan dari asma-asma-Nya sebagaimana diikrarkan dalam syahadah Lailaha illallah. Yakni pengakuan bahwa mahluk-Nya bukanlah Tuhan tetapi keberadaan-Nya juga tidak tersamai oleh selain-Nya, sehingga tidak satupun wujud yang mandiri dan lepas dari-Nya.

NOTA KAKI

Tulisan ini tidak akan melibatkan diri dan tidak akan menambah jumlah orang yang berpolemik ataupun menilai apakah wahdah al-wujud termasuk pantheisme atau tidak, tetapi sekedar menyatakan bahwa ‘wahdah al-wujud’ (kesatuan realitas) adalah gagasan terpenting dari metafisika Ibn Arabi.

Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan wahdat al-wujud ini menjadi sebuah teori ‘besar’ tantang proses penciptaan semesta yang ditelorkan oleh Hamzah Fansuri dan Nuruddin Sumatrani dengan istilah ‘martabat tujuh’; ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam dan insan. Lebih jelas masalah ini, lihat Simuh, Sufisme Jawa Transformasi

Tasawuf Islam ke Mistik, (Yogya, Bentang, 1989); Harun Hadiwiyono, Kebatinan Islam Abad  XVI, (Jakarta, Gunung Mulia, 1985). Tentang bagaimana proses dari Ibn Arabi dan Ibrahim Al-  Jilli sampai kepada Hamzah Fansuri, lihat Mastuki HS, ‘Neo-Sufisme di Nusantara

Kesinambungan dan Perubahan’, dalam Jurnal Ulum Alqur’an, edisi 6/VII/1997. 2 Azhari Noer, Ibn Arabi Wahdat al-Wujud dalam perdebatan, (Jakarta, Paramadina, 1995), 34 dan seterusnya.
3 Harus dibedakan dengan Ibn Arabi yang lain, yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad ibn Abdillah ibn Arabi al-Ma`afiri (468-543 H/ 1076-1148 M). Ia juga tokoh muslim yang lahir di Spanyol. Namun, yang ini bukan tokoh sufi, tapi seorang ahli hadis di Sevilla yang kemudian menjadi hakim disana. Untuk referensi lihat, Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi, 17; J. Robson, ‘Ibn al-Arabi’ dalamThe Encylopaedia of Islam, New Edition, (London dan Laiden: Luzac dan Brill, 1979), III, 707.

Akan tetapi, S. Husain Nasr menyebut nama lengkap Ibn Arabi tokoh sufi ini dengan nama Ibn Arabi lain yang dianggap sebagai tokoh hadits diatas, dengan tahun lahir 570 H/ 1165 M. Lihat, Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, (Bandung, Risalah, 1986), 127.

4 Kautsar Azhari Noer, Ibn Arabi, 17.

5  Affifi, Filsafat Mistis Ibn Arabi, terj. Nandi Rahman, (Jakarta, Media Pratama, 1989),
Arbery menggelari dengan ‘The greatest mystical genius of the Arab’ pada Ibn Arabi, karena prestasi-prestasi yang dihasilkannnya. Lihat, Arbery,Sufism An Account of the Mystics of Islam, (London, Unwin Paperback, 1975), 97.

7  Akan tetapi, menurut Taftazani, Ibn Arabi wafat dan dikebumikan di Hijaz, bukan di Damascus. Lihat, Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. A. Rafi Usman, (Bandung, Pustaka, 1985), 201. Namun, kebanyakan sumber dan bukti-bukti tidak mendukung pendapat ini. Pendapat Taftazani ini, mungkin, terkaburkan oleh nama Ibn Arabi yang lain sebagaimana yang terjadi pada Husain Nahr diatas, mengingat memang tidak jarang dijumpai nama yang sama dalam satu persoalan.

8 Kautsar, Ibn Arabi, 18.

9  Ibn Arabi, Futuhât al-Makiyah, II, (Bairut, Dar al-Fikr, tt), 425. Diantara gurunya yang sangat dikagumi adalah dua orang wanita; Yasmin Mursaniyah dari Marchena dan Fatimah Qurthubiyah dari Kordova. Keduanya berpengaruh besar dalam pembentukan (pengarahan) kepada kehidupannya. Tentang kehidupan kedua guru wanita ini, lihat Ibn Arabi,Su fi - Su fi  Andalusia, terj. Nasrullah (Bandung, Mizan, 1994).

10 Tentang dialok antara Ibn Arabi dengan Ibn Rusyid ini, lihatFut uh ât, I, 153; Lihat pula, Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, 128-129. Dengan demikian, dalam pertemuan tersebut bukan Ibn Arabi berguru pada Ibn Rusyd, seperti yang dikatakan al-Qarni, meski diakui bahwa pertemuan itu sendiri diatur oleh ayah Ibn Arabi atas permintaan Ibn Rusyd. Lihat al-Qarni,  Muhy al-Dîn Ibn al-Arabi, (Mesir, Haniah li al-kitab, 1987), 26

Uraian tentang kenyataan bahwa Ibn Arabi adalah seorang mistikus sekaligus filosof bisa dilihat pada Franz Rosenthal, Ibn Arabi between Philosophy and Mysticism, (Laiden, Brill, 1998), 1-35.

13  Ibn Arabi,Fut uh ât , IV, 129.

14  Kutsar, Ibn Arabi, 19.

15  Menurut Ibn Arabi, penulisan kitab ini didektekan langsung oleh Tuhan lewat ilham, kata per kata. Lihat Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi, terj. Rahmani Astuti, (Bandung, Mizan, 1996), 319.

16 Ibn Arabi,Fut uh ât , IV, 560.

17 Pengangkatan ini, yang pertama di Seville (580/1184), kedua di Makkah (599/1202).

18  Suhrawardi ini bukan Suhrawardi al-Maqtul tokoh Filsafat Illuminasi (Syaikh al- Isyraq) seperti yang dikatakan Husain Nasr, ¤alasa Hukuma al-Islam, 132. Suhrawardi tokoh Emanasi telah dihukum mati tahun 587/1191 M; lebih jelas tentang ajarannya, lihat Husaien Ziai, Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi, terj. Afif Muhammad, (Bandung, Zaman Wacana Mulia, 1998)

Ibn Arabi, Fushûs al-Hikâm, (Bairut, Dar al-Kitab), I, 47. Menurut pengakuan Ibn Arabi, kitab ini diberikan oleh Rasulullah. Secara lengkap, dalam mukaddimah kitab ini dkatakan, ‘Aku mimpi melihat Rasul dalam kegembiraan pada hari-hari sepuluh terakhir bulan Muharram, tahun 627 H, di pinggiran Damascus dan di tanggannya ada sebuah kitab. Beliau berkata, ‘Ini kitab Fushûs Al-Hikâm. Ambillah...Sampaikan kepada masyarakat agar mereka  memanfaatkannya..’.

Kitab Fushûsh al-Hikam dianggap sebagai wasiat keruhanian, berisi 27 bab yan masing- masing terspesialisasi untuk satu akidah kebatinan asasi menurut Islam. Kitab ini sendiri telah banyak diberi komentar (syarah). Diantara yang terkenal, menurut Husain Nasr, adalah komentar dari ¢adruddin Qanawi, Abdurrazaq Kasyani, daud Qaishari, Abdul Ghani dan Abdurrahman Jami. Semua tokoh sufi abad-abad belakangan. Husain Nasr, Tiga pemikir Islam, 174.

20  Kautsar, Ibn Arabi, 24. Tentang riwayat hidup tokoh ini, secara panjang lebar bisa juga dilihat pada Pendahuluan yang diberikan Austin pada karya Ibn Arabi, Sufi-sufi Andalusia, terj. Nasrullah, (Bandung, Mizan, 1994).

21  Kautsar, Ibn Arabi, 25.

22  Mutahhari, Meniti Jalan Spiritual, terj. Nasrullah, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997)

Tiga macam dan tingkat ilmu pengetahuan ini sama sebagaimana yang disampaikan al- Ghazali dalam karya otobigrafi intelektualnya. Disana al-Ghazali membagi tingkatan ilmu menjadi tiga; berdasarkan indera, rasio dan intuitif. Menurutnya, indera adalah sarana paling rendah dalam kajian pengetahuan; diatas ilmu berdasarkan rasio dan diatasnya lagi adalah intuitif. Al-Ghazali akhirnya memilih sufisme karena menganggap bahwa ilmu hasil mistik inilah ilmu yang sebenarnya yang tidak mengenal keraguan dan tidak terbantahkan. Lihat Al- Ghazali, Al-Munqid min al-Dlalâl, (Bairut, Maktabah As-Syaksiyah, tt).

24  Lihat Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, (Yogya, Tiara Wacana
Sebelumnya, al-Ghazali (1085-1111 M) menyebutkan tiga tahapan untuk mencapai pengetahuan yang hakiki (intuitif);t a kh l i ya h (pensucian diri),ta hl i y ah (penghiasan diri dengan banyak melakukan kebajikan) danta j li ya h (tahap siap menerimaan tajalli). Lebih jelas tentang bagaimana seseorang mesti menjalani tahapan-tahapan ini, lihat Al-Ghazali, Adâb fi al-Dîn, (Bairut, Al-Maktabah As-Syakbiyah, tt).

27  Tahapan-tahapan mistis yang digunakan Ibn Arabi ini, tidak berbeda jauh, atau bahkan mungkin sama dengan metode fenomenologi yang disampaikan Edmund Husserl (1859-1938 M), yang melalui tiga tahapan reduksi; reduksi fenomenologis, reduksi aiditis dan reduksi transendental. Menurut Husserl, reduksi fenomenologis adalah suatu bentuk pengamatan awal dimana objek dipandang ‘apa adanya’ tapi penuh dengan ‘kecurigaan’. Objek dibiarkan tanpa diberi statemen dan diletakkan didalam kesadaran. Jika berhasil, seseorang akan menemukan fenomen yang sebenarnya; mengenal gejala dalam dirinya sendiri. Setelah itu masuk tahap kedua; reduksi aidetis, penyaringan segala sesuatu yang bukan menjadi hakekat fenomena. Reduksi kedua ini berusaha masuk dalam hakekat fenomen. Reduksi ketiga; transendental, mengeluarkan segala yang tidak berhubungan dengan kesadaran murni, agar dengan objek tersebut seseorang bisa mencapai dirinya sendiri. Jelasnya, moden ini diterapkan pada sobjek sendiri dan pada perbuatannya, pada kesadaran murninya untuk menemukan yang hakekat

Ini bisa dilihat dari pengakuannya, misalnya, saat menulis kitab Futûh al-Makiyah yang diklaim didektekan sendiri oleh Tuhan, kata per kata. Juga penulisan kitab Fushûsh Al-  Hikam yang diajarkan langsung oleh Rasulullah. Lihat catatan kaki diatas Ibn Arabi,Fut ûh ât, II, 160.

38  Ibrahim Al-Jilli, Al-Insân al-Kâmil, I, 37-40. Al-Jilli, salah seorang murid terkemuka  yang banyak menjelaskn pemikiran Ibn Arabi, menguraikannya secara bagus dan mudah.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan