MUTIARA HIKMAH IBNU ARABI –
Oleh Adnan Dahalan
Dipetik dari Laman FB - BBM4U
Assalamu'alaikum !
Mutiara hikmah Ibnu Arobi
Buah-buah Perjalanan
"Perjalanan Melihat Allah"
Allah berfirman
"Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan
sewenang-wenang" (Mu'min:25).
Demikianlah sifat ketuhanan apabila diterapkan kepada hamba bukan berarti akan menunjukkan kemuliaan dan ketinggiannya, karena di sini terjadi penyamaan dari apa yang semestinya dimiliki oleh hamba berupa memerlukan menjadi apa yang semetinya dimiliki oleh Ilahiyah berupa pemberian.
Demikianlah sifat ketuhanan apabila diterapkan kepada hamba bukan berarti akan menunjukkan kemuliaan dan ketinggiannya, karena di sini terjadi penyamaan dari apa yang semestinya dimiliki oleh hamba berupa memerlukan menjadi apa yang semetinya dimiliki oleh Ilahiyah berupa pemberian.
Demikian apa yang terjadi dalam kisah Isra', kehambaan yang dimiliki
oleh Rasulullah sudah sedemikian sempurna, bahkan telah dinisbatkan kepada
Allah, yaitu sebutan "hamba-Nya", maka hak dari Ketuhanan adalah
memberinya imbalan kepadanya dengan megangkatnya menembus keghaiban dari Yang
Ghaib.
Ketika turun kehambaan Rasulullah s.a.w. hingga ke tingkat hamba yang
haqiqi, maka diangkatnya ia ke atas kemuliaan ghaib. Dari sini beliau
menyaksikan kebenaran sebagai perseorangan. Cinta akan membangkitkan rasa
memiliki, sehingga tidak lagi bisa memberikan. Seorang hamba mungkin mampu
memberikan, namun ia telah terbatasi, maka di sana tidak nampak olehnya apapun
kecuali nama Dzat yang Maha Gahib itu.
Ketika wahyu diturunkan kepada Rasulullah untuk Isra', maka itu adalah
ajakan bercengkerama, karena datang di malam hari. Bercengkerama adalah
pembicaraan yang paling tinggi, karena di dalamnya mengandung ungkapan-ungkapan
manis, mengandung petua mengajak kepada kedekatan yang murni.
Tanda-tanda yang disaksikan oleh Rasulullah s.a.w. sebagian nampak di
atas ufuk dan sebagian lagi ada dalam dirinya.
Allah berfirman
"Akan aku tunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri" (Fussilat : 53),
"Dan di dalam dirimu (terdapat tanda-tanda kebesaran Allah) apakah
kalian tidak menyaksikannya" (al-Dzariyat:21).
Kedekatan (Jibril) kepada Rasulullah s.a.w. sejarak dua ujung busur
panah atau lebih dekat lagi (An-Najm:9) merupakan tanda-tanda yang nampak di
ufuk yang membuktikan keberadaan maqam hamba dari Tuhannya dan menunjukkan
maqam kecintaan (mahabbah) dan kedekatannya kepada Allah, "Lalu dia
(Jibril) menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah
wahyukan", inilah maqam bercengkerama dengan Yang Maha Ghaib.
Allah pun menegaskan "Nurani tidak mendustakan apa yang telah
dilihatnya" (An-Najm:11). Nurani yang diungkapkan dengan kata
"fuad" adalah hati dari hati (qalb). Nurani boleh melihat, demikian
hati boleh melihat. Hati boleh melihat mulai dari kebutaan lalu ia menerima
kebenaran yang ditunjukkan dan didekatkan kepadanya, sesuai firman-Nya
"Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta
adalah hati yang di dalam dada" (al-Hajj: 46).
Nurani tidak akan pernah buta karena ia samasekali tidak berhubungan
dengan mahluk, ia hanya berhubungan dengan Tuhannya, dan dia berhubungan dengan
Tuhannya semata melalui jalan ghaib yang paling tinggi, sesuai dengan maqam dan
tingkatannya.
Itulah mengapa Allah menegaskan
Itulah mengapa Allah menegaskan
"Nurani tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya"
(An-Najm:11).
Sering mata salah melihat, meskipun ungkapan ini hanya dari orang yang
bodoh semata, karena yang salah melihat adalah pengendalinya bukan apa yang
dilihat oleh panca indera. Mereka yang berkata mata telah salah lihat karena
tidak sesuai dengan hakikat, maka ini berarti membohongi pemilik mata, karena
sifat bohong tidak pernah terjadi pada mata.
Hamba yang ada pada kisah Isra' di atas, adalah hamba yang benar-benar
hamba, yang disucikan dalam kehambannya. Begitu juga tentang Yang Maha Ghaib
adalah puncak dari keghaiban. Tanda-tanda yang dilihatnya dalam dirinya,
merupakan cernaan dari kehambaan hamba terhadap kaghaiban ghaib dengan
menggunakan mata nurani, maka tidak ada seorangpun yang melihatnya. Sedangkan
tanda-tanda yang ada di ufuk adalah apa yang dilihat oleh Rasulullah s.a.w.
pada bintang-bintang, langit, tangga-tangga naik, derikan Qalam, Singgasana dan
Sidratul Muntaha.
Ini semua menunjukkan bagaimana maqam hamba yang telah dikhususkan oleh
Yang Maha Ghaib.
Allah mengingatkan "(Masjidil Aqsha) yang Kami Berkahi apa
sekelilingnya". Allah tidak menyebutkan berkah Masjidil Haram dan Masjidil
Aqsha itu sendiri, karena sudah jelas, keduanya merupakan tempat
berduyun-duyunnya manusia karena kemuliaannya. Masjidil Haram kepada Masjidil
Aqsha ibarat Sorga dan Neraka, "Sorga senantiasa dikelilingi dengan hal
yang dibenci" seperti firman Allah:
"Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Kami telah
menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya
rampok-merampok" (al-'Ankabut:67).
Dan "Neraka senantiasa dikelilingi dengan nafsu syahwat", seperti firman Allah
Dan "Neraka senantiasa dikelilingi dengan nafsu syahwat", seperti firman Allah
"Masjidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya".
Buah dari kisah perjalanan di atas adalah menyaksikan Yang Maha Ghaib.
Allah berkata benar dan menunjukkan jalan yang benar.@@@
Risalah ke satu
Mutiara hikmah Ibnu Arabi
Bismillahirrahmanirrahiim.
Bismillahirrahmanirrahiim.
Segala puji bagi Allah Yang
bersinggasana di atas mega "Arsy", setelah Ia ciptakan bumi dan
langit-Nya. Yang telah menurunkan al-Qur'an di malam Lailatul Qadar, malam yang
diberkahi, ke langit dunia secara keseluruhan dengan surah-surah dan
ayat-ayatnya. Ia telah menjalankan kendaraan melewati tempat-tempat pengumpulan
dan pemilihan, Ia jadikan itu sebagai ketentuan-Nya yang terpuji. Ia telah
menjalankan hamba-Nya Muhammad, di waktu malam, dari masjidil Haram ke Masjidil
Aqsha, kemudian ke langit untuk menunjukkan sebagian dari ayat-ayat-Nya.
Ia telah menurunkan Adam ke bumi cobaan-Nya setelah Ia mengeluarkannya dari sorga kenikmatan dan kesenangan-Nya. Ia telah mengangkat Idris a.s. dari dunia nyata hingga Ia menurunkannya di tempat yang mulia dan tinggi derajatnya. Ia telah membawa Nuh a.s. melewati gelombang badai topan-Nya di atas bahtera keselamatan-Nya. Ia telah membawa Ibrahim a.s. kepada hidayah dan karamah-Nya. Ia telah memisahkan Yusuf a.s. dari orang tuanya, kemudian ia menyusulkan orang tuanya kepadanya demi membenarkan bahwa mimpi yang pernah dilihatnya adalah pemberian-Nya yang terindah.
Ia telah menurunkan Adam ke bumi cobaan-Nya setelah Ia mengeluarkannya dari sorga kenikmatan dan kesenangan-Nya. Ia telah mengangkat Idris a.s. dari dunia nyata hingga Ia menurunkannya di tempat yang mulia dan tinggi derajatnya. Ia telah membawa Nuh a.s. melewati gelombang badai topan-Nya di atas bahtera keselamatan-Nya. Ia telah membawa Ibrahim a.s. kepada hidayah dan karamah-Nya. Ia telah memisahkan Yusuf a.s. dari orang tuanya, kemudian ia menyusulkan orang tuanya kepadanya demi membenarkan bahwa mimpi yang pernah dilihatnya adalah pemberian-Nya yang terindah.
Ia telah menjalankan Luth
dan keluarganya untuk Ia selamatkan dari azab dan siksaan-Nya. Ia percepat
perjalanan Musa a.s. dari kaum-kaumnya untuk menghadap Tuhannya, kemudian Ia
berikan kepadanya cahaya berupa api untuk memenuhi kebutuhannya. Musa datang
kepada-Nya, mendekati-Nya dalam bermunajat. Ia telah mengeluarkan Musa dari
kaumnya demi risalah-Nya. Ia telah menjalankan kaum Musa untuk menenggelamkan
mereka yang menentang Tuhan dengan kesesatan mereka.
Lalu Ia melanjutkan
perjalanan Musa sampai kepada batas pengetahuan hingga bertemu dangan orang
yang mendapatkan ilmu da karunia-Nya. Lalu Ia melanjutkan perjalanan Musa yang
menghantarkannya kepada kekhususan dan kemampuan dalam memberikan keputusan
yang diberikan Allah kepadanya. Ia telah membawa Musa kecil dalam keranjang
menelusuri sungai-sungai kehancuran.
Ia telah mengangkat Isa
kepada-Nya padahal ia adalah kalimat dari kalimat Allah. Ia menjalankan Yunus
a.s. dengan kemarahannya memuncak hingga tersesat dalam perut Ikan yang gegap
gempita. Ia telah memuliakan Thalut dengan bala tentaranya termasuk Daud a.s.
untuk melewati sungai cobaan agar mereka bisa meneguk seteguk air-Nya. Ia telah
menyalakan ufuk di tangan Dzul Qarnain untuk menciptakan pagar pemisah antara
hamba Allah yang taat dan durhaka.
Kemudian Ia telah menurunkan
Jibril di hati setiap nabi-nabiNya dan Ia mengangkat kalimah tauhid melalui
amal-amal shalih dan memuliakan pemiliknya dengan melihat Dzat-Nya.
Shalawat serta salam senantiasa terkirim kepada Muhammad, sebaik-baik orang yang mengenakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Keselamatan untuknya serta untuk keluarga, sahabat-sahabat, isteri-isteri dan anak-anaknya.
Shalawat serta salam senantiasa terkirim kepada Muhammad, sebaik-baik orang yang mengenakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Keselamatan untuknya serta untuk keluarga, sahabat-sahabat, isteri-isteri dan anak-anaknya.
*************************************************************
Kutipan di atas adalah pembukaan dari kitab "al-Isfar 'an-Nataijil Asfar" ("Buah-buah perjalanan"). Kitab tersebut merupakan renungan-renungan tasawuf atas beragam perjalanan yang dialami oleh mahluk Allah, ditulis oleh seorang ulama besar Muhyiddin ibn al-Arabi, terkenal dengan nama "Ibnu Arabi". Beliau merupakan salah satu ulama Andalusia, lahir tahun 560 H/1165M di kota Marsiah wilayah timur Andalus dan meninggal tahun 638H/1240M di Damaskus. Pengembaraannya dalam mencari ilmu dan mendalami ilmu tasawuf telah membuahkan berbagai karya-karya monumental.
Kutipan di atas adalah pembukaan dari kitab "al-Isfar 'an-Nataijil Asfar" ("Buah-buah perjalanan"). Kitab tersebut merupakan renungan-renungan tasawuf atas beragam perjalanan yang dialami oleh mahluk Allah, ditulis oleh seorang ulama besar Muhyiddin ibn al-Arabi, terkenal dengan nama "Ibnu Arabi". Beliau merupakan salah satu ulama Andalusia, lahir tahun 560 H/1165M di kota Marsiah wilayah timur Andalus dan meninggal tahun 638H/1240M di Damaskus. Pengembaraannya dalam mencari ilmu dan mendalami ilmu tasawuf telah membuahkan berbagai karya-karya monumental.
Kajiannya yang begitu
mendalam dalam karya-karyanya telah menimbulkan banyak kritik dan pujian.
Banyak yang menuduhnya menyeleweng dengan konsep "wihdatul wujud"
(kesatuan wujud), namun bagi yang telah mendalami dan memahami karya-karyanya
akan menemukan bahwa sebenarnya dalam karya beliau penuh berisi untaian
mutiara-mutiara hikmah ketuhanan yang maha tinggi dan petuah-petuah ketauhidan
yang maha dalam.
Sehubungan dengan telah
habisnya pengajian "Futuhul Ghaib" karya Syekh Abdul Qadir Jailani,
redaksi Pesantren Virtual akan melanjutkan pengajian tasawuf dengan
mengetengahkan cuplikan-cuplikan hikmah tasawuf dari karya Ibnu Arabi.
Terjemahan dari petuah-petuah Ibnu Arabi tersebut akan ditampilkan secara
berkala dalam pengajian email Pesantren Virtual dengan harapan bisa menambah
kedalaman ilmu dan agama kita serta bermanfaat bagi kita di dunia dan akhirat.
Amin allahumma amin.
Risalah ke dua
Mutiara hikmah Ibnu Arabi
Terdapat tiga jenis
perjalanan yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya, yaitu perjalanan dari
Allah, perjalanan kepada-Nya dan perjalanan bersama-Nya. Mereka yang melakukan
perjalanan dari Allah, keuntungan yang akan didapatkannya adalah sebatas apa
yang diperolehnya dalam perjalanan tersebut. Mereka yang melakukan perjalanan
bersama Allah, tidak akan mendapatkan keuntungan kecuali apa yang ada dalam
dirinya. Kedua perjalanan ini pasti mempunyai tujuan dan memerlukan ayunan
langkah untuk mencapainya, kecuali perjalanan orang yang sesat yang tidak
mempunyai tujuan yang pasti.
Jalan yang dilalui seorang
musafir adalah darat dan laut. Allah berfirman "Dialah Tuhan yang
menjadikan kamu dapat berjalan di daratan dan lautan" (Yunus : 22). Allah
mendahulukan kata "darat" sebelum "laut" menujukkan bahwa
seorang musfir tidak akan bepergian melewati laut kecuali terpaksa. Umar bin
Khattab pernah mencela : "Seandainya tidak ada ayat ini, tentu aku akan
melarang orang bepergian melewati laut".
Seandainya ayat yang menganjurkan bepergian hanya sabda Allah "Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan ni'mat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya. Sesungguhnya dari itu semua (apa yang kalian lihat) adalah tanda-tanda bagi mereka yang sangat sabar dan banyak bersyukur" (Luqman : 31), tentu ayat (surah Yunus) di atas juga cukup menjadi jawabannya.
Seandainya ayat yang menganjurkan bepergian hanya sabda Allah "Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan ni'mat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya. Sesungguhnya dari itu semua (apa yang kalian lihat) adalah tanda-tanda bagi mereka yang sangat sabar dan banyak bersyukur" (Luqman : 31), tentu ayat (surah Yunus) di atas juga cukup menjadi jawabannya.
Setiap perjalanan pasti
akan melewati bahaya, kecuali perjalanan yang ditanggung oleh Allah, seperti
perjalanan Isra'. Orang yang diperjalankan atau diajak berpergian oleh Allah
pasti akan selamat, sementara orang yang berpergian sendiri pasti akan melewati
mara bahaya.
Karena "wujud"
sumbernya adalah "gerak", maka demikian halnya Allah tidak akan
terselimuti oleh sifat diam dan berhenti, karena itu mencerminkan ketidak-adaan
(hampa). Demikian lah perjalanan ini selalu terjadi di alam langit (atas) dan
alam bumi (bawah). Hakekat ilahiyah juga demikian, selalu diwarnai perjalanan
pergi dan perjalanan pulang. Kita tahu bahwa Allah turun ke langit dunia dan
kita tahu bahwa Allah bersinggasana di atas langit, seperti yang diceritakan oleh
ayat-ayat-Nya. Kita tahu itu dengan tanpa perumpamaan dan persamaan.
Risalah ke tiga
Mutiara hikmah Ibnu Arabi
Alam langit selalu diwarnai
dengan perputaran bersama-sama dengan apa yang terkandung di dalamnya. Ia tidak
pernah berhenti dan diam. Seandainya ia diam niscaya alam semesta ini hancur
dan sirna. Perputaran bintang-bintang di angkasa merupakan perjalanan mereka,
seperti dijelaskan oleh al-Qur'an "Dan telah Kami tetapkan bagi bulan
tempat-tempatnya" (Yaseen :39). Bergeraknya empat arah angin, bergeraknya
janin-janin dalam setiap detik dengan perubahan dan perpindahan pada setiap
nafas, perjalanan fikiran antara hal terpuji dan tercela, perjalanan nafas yang
dihembuskan oleh mereka yang bernafas, perjalanan mata antara bangun dan
terpejam, perjalanan pandangan dari satu dunia ke dunia yang lainnya dengan
pengamatan dan I'tibar, semuanya adalah perjalanan yang dicerna oleh akal
manusia.
Ada yang berkata bahwa dunia fisik ini sejak diciptakan oleh Allah senantiasa dalam perjalanan (proses) yang menempati ruang dan tak pernah berhenti. Maka sebenarnya kita semua senantiasa dalam perjalanan itu, sejak kelahiran kita, kelahiran nenek moyang kita sampai masa yang tak berujung. Ketika kamu merasa sampai di satu tujuan kemudian kamu berkata: "Inilah sebenarnya tujuanku", tiba-tiba terbuka untukmu jalan-jalan yang lain dan jalan itu terus bertambah, lalu kamu pun meninggalkan tempat itu. Tidak ada satu pun tempat dimana kamu sampai kepadanya, meskipun kamu telah berucap "Inilah tujuanku", pasti sejenak setelah itu kamu meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan yang lain.
Betapa banyak kamu berjalan melewat tingkat-tingkat kejadian dalam dirimu, mulai dari darah yang mengalir di tubuh bapak dan ibumu, kemudian darah itu berkumpul membentukmu entah dengan atau tanpa kesengajaan mereka. Kamu pun berubah menjadi mani (sperma), lalu berubah menjadi segumpal darah, lalu kamu melewati itu dan berubah menjadi segumpal daging, lalu tulang yang kemudian terbungkus daging, lalu ditumbuhkan sekali lagi dan dikeluarkanlah kamu ke dunia.
Ada yang berkata bahwa dunia fisik ini sejak diciptakan oleh Allah senantiasa dalam perjalanan (proses) yang menempati ruang dan tak pernah berhenti. Maka sebenarnya kita semua senantiasa dalam perjalanan itu, sejak kelahiran kita, kelahiran nenek moyang kita sampai masa yang tak berujung. Ketika kamu merasa sampai di satu tujuan kemudian kamu berkata: "Inilah sebenarnya tujuanku", tiba-tiba terbuka untukmu jalan-jalan yang lain dan jalan itu terus bertambah, lalu kamu pun meninggalkan tempat itu. Tidak ada satu pun tempat dimana kamu sampai kepadanya, meskipun kamu telah berucap "Inilah tujuanku", pasti sejenak setelah itu kamu meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan yang lain.
Betapa banyak kamu berjalan melewat tingkat-tingkat kejadian dalam dirimu, mulai dari darah yang mengalir di tubuh bapak dan ibumu, kemudian darah itu berkumpul membentukmu entah dengan atau tanpa kesengajaan mereka. Kamu pun berubah menjadi mani (sperma), lalu berubah menjadi segumpal darah, lalu kamu melewati itu dan berubah menjadi segumpal daging, lalu tulang yang kemudian terbungkus daging, lalu ditumbuhkan sekali lagi dan dikeluarkanlah kamu ke dunia.
Lalu kamu pun melewati masa
bayi, ke masa kanak-kanak lalu ke masa remaja dan dewasa, lalu ke masa tua dan
pikun, inilah masa yang paling hina dari umurmu. Dari situ kamu pun pergi ke
alam barzakh, setelah itu kamu akan melewatinya menuju hari kebangkitan. Kamu
pun akan melewati jembatan (shirat) yang akan menghantarkanmu ke sorga atau ke
neraka, bila kamu memang penduduknya. Namun apabila kamu bukan penduduk neraka,
kamu masih akan melewati perjalanan neraka menuju sorga dan dari sorga ke
tempat melihat Allah dan begitulah selamanya, kamu akan mondar-mandir dari sorga
ke tempat melihat Allah.
Mereka yang di neraka juga
terus mengalami perjalanan, naik dan turun silih berganti seperti sepotong
daging yang direbus di dalam periuk di atas api yang membara
"Setiap kali kulit
mereka terkelupas, Aku gantikan dengan kulit yang baru agar mereka merasakan
pedihnya siksaan-Ku" (An-Nisaa :56).
Tidak ada yang diam dan
berhenti di alam ini. Siang dan malam, dunia ini senantiasa diwarnai dengan
gerak dan perubahan yang silih berganti. Fikiran, perilaku dan sifat juga
demikian, senantiasa berubah silih berganti bersama perubahan siang dan malam
dan bersama silih bergantinya hakekat ilahiyah di atas semuanya. Hakekat
ilahiyah terkadang turun dengan nama-Nya Yang penuh kasih sayang, terkadang
dengan nama-Nya Yang Maha menerima taubat, Maha Memaafkan, terkadang dengan
nama-Nya Yang Maha Memberi rizqi, Maha Mengkaruniai dan terkadang turun dengan
nama-Nya Yang Maha Membalas dan dengan semua nama-nama Ilahiyah-Nya.
Hakekat ilahiyah tersebut
terkadang turun kepadamu dari keagungan-Nya dengan karunia, rizqi, dendam,
taubat, ampunan dan kasih sayang. Ia turun kepadamu atas permohonan dan ia
turun dari-Nya atas karunia.
Dari situ seorang hamba
hendaknya berfikir, agar menyelami perbedaan antara perjalanan yang ia
diperintah untuk mempersiapkannya, perjalanan yang di dalamnya penuh dengan
kabahagiaan, yaitu perjalanan kepada-Nya, bersama-Nya dan dari-Nya. Semua
perjalanan ini telah disyariatkan kepadanya. Dan antara perjalanan yang tidak
diperintahkan untuk mempersiapkannya, seperti mengayunkan kaki di atas bumi ke
jalan yang halal, perjalanan dagang untuk melipatgandakan harta dan
menyimpannya, dan seperti perjalanan nafas keluar dan masuk. Ini merupakan
kabutuhan bagi pertumbuhannya.
Kita berdoa kepada Allah agar dikaruniai akhir yang penuh bahagia dan kesehatan yang sempurna.
Kita berdoa kepada Allah agar dikaruniai akhir yang penuh bahagia dan kesehatan yang sempurna.
Risalah ke empat
Mutiara hikmah Ibnu Arabi
Mereka yang melakukan
perjalanan dari Allah terdapat tiga golongan. Pertama : mereka yang
dicampakkan, yaitu iblis dan orang-orang yang menyekutukan Allah. Kedua :
mereka yang tidak ditolak dan tidak dicampakkan, namun penuh dengan kebimbangan
dan keraguan, inilah orang-orang yang bergelimang maksiat, karena mereka tidak
mampu singgah dalam keramaian dengan menentang rasa malu yang menguasainya. Dan
ketiga adalah perjalanan ujian dan pemilihan, seperti perjalanan para utusan
Allah dari-Nya kepada makhluq dan perjalanan kembali para pewaris dan ahli
makrifat dari pengembaraannya menyaksikan dunia nafsu dalam kekuasaan, pemerintahan,
tipu daya dan rekayasa.
Orang-orang yang berpergian
menuju Allah juga terdapat tiga golongan. Pertama : mereka yang menyekutukan
Allah, mem-benda-kan-Nya, menyerupakan-Nya dengan mahluk dan mensifati-Nya
dengan sifat-sifat yang tidak layak untuk-Nya. Allah telah menegaskan
"Tidak ada satu pun
yang menyerupai-Nya" (al-Syuura:11).
Mereka ini hanya akan
sampai kepada hijab yang menutupinya dari rahmat-Nya. Kedua adalah mereka yang
mensucikan Allah dari segala hal yang tidak layak dan mustahil untuk-Nya, dari
apa-apa yang mutasyabihat yang datang dalam kitab-Nya, lalu ia berkata
"Allah Maha Mengetahui
dari apa yang ada dalam kitab-Nya".
Meskipun mereka tidak
menyekutukan Allah, namun mereka masih melalui penyimpangan. Mereka ini akan
sampai kepada ketercelaan, meskipun tidak sampai kepada hijab atau ketertutupan
dan siksaan yang abadi. Ibaratnya apa yang didapatkan orang-orang yang memberi
santunan, berdiri di depan pintu, lalu orang-orang menempatkannya di tempat
mulia, namun ia dicela karena tidak memberikan penghormatan.
Ketiga adalah perjalanan
orang-orang yang dijaga dan dilindungi, diperhatikan dan disertai dengan
petunjuk jalan. Mereka ditakuti manusia namun mereka tidak pernah takut,
disedihkan manusia namun mereka tidak pernah sedih, karena sebenarnya mereka
telah meninggalkan ketakutan dan kesedihan itu. Orang yang telah meninggalkan
sesuatu tidak mungkin ia ada di dalamnya. "Mereka tidak disedihkan oleh
kedahsyatan yang besar (pada hari kiamat) dan mereka disambut oleh para
malaikat. Malaikat berkata 'Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu'"
(al-Anbiya':103). Itulah kebahagian mereka di akherat. Mereka pergi ke sana.
Sedangkan orang-orang yang
pergi bersama Allah, atau mendalami Allah terdapat dua golongan. Golongan
pertama ialah mereka yang pergi dengan pemikirannya dan menyelam dengan akalnya
lalu mereka tersesat dan pasti akan tersesat, karena mereka berkeyakinan bahwa
tidak ada penunjuk jalan kecuali akal dan fikirannya. Itulah para filosuf dan
orang-orang yang mengikuti jalannya.
Golongan kedua adalah
mereka yang diantarkan kepada-Nya, yaitu para utusan, nabi Allah dan
orang-orang yang terpilih dari para wali-Nya, seperti Sahl bin Abdullah, Abu
Yazid, Farqad As-sabkhi, Junaid bin Muhammad, Hasan Basri dan para ulama
terkenal di zaman kita ini.
Akan tetapi kalau diamati,
zaman kita bukanlah seperti zaman-zaman yang lalu (zaman Rasulullah) karena
dekatnya zaman kita dengan alam akhirat, maka tabir-tabir rahasia banyak
terkuak pada masa ini, lapisan-lapisan ruh mulai jelas dan nampak. Ulama pada
masa kita lebih cepat membuka tabir (ilmu ghaib), lebih banyak mencapai kesaksian,
lebih luas makrifat dan lebih sempurna dalam hakekat, namun lebih sedikit dalam
amalnya dibandingkan dengan ulama zaman dulu.
Mereka dulu banyak amalnya
meskipun lebih sedikit kashf-nya (terbuka ke alam ghaib) dibandingkan kita. Itu
karena kita jauh dari zaman sahabat yang menyaksikan langsung nabi Muhammad
s.a.w. dan turunnya ruh-ruh kepadanya di tengah-tengah mereka. Mereka yang
menerima cahaya pada masa itu sangat sedikit seperti Abu Bakar siddiq, Umar bin
Khattab, Ali bin Abi Thalib r.a. dan para ulama sepadannya.
Amal pada masa lalu lebih
banyak dilakukan dan ilmu pada masa sekarang lebih banyak didapatkan, dan ini
terus bertambah hingga pada saat turunnya Isa a.s. Satu rakaat dari kita
sekarang ini nilainya seperti ibadah satu orang orang pada masa lalu
sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah s.a.w.
"Bagi orang yang
beramal diantara mereka (pada masa dimana kebencian menjadi panutan, nafsu
menjadi guru, harta menjadi penentu dan orang-orang bangga dengan pendapatnya
sendiri-sendiri) pahalanya seperti pahala limapuluh orang yang beramal seperti
amalan (pada zamanmu) sekalian" (Tirmizi, Ibnu Majah).
Alangkah indahnya
perumpamaan itu dan alangkah halusnya isyarat yang diberikan Rasulullah s.a.w.
Ini karena kedekatan kita dengan zaman akhir dan mulai nampaknya hukum-hukum
dunia barzakh. Tidakkah kamu ingat perkataan Rasulullah:
"Tidak akan datang
hari kiamat sehingga paha seseorang berbicara tentang apa yang diperbuat si
tuannya dan ujung cemeti (menceritakan apa yang dilakukan pemiliknya) dan pohon-pohon
memberi tahu: 'Ini ada orang yahudi yang bersembunyi di belakangku, bunuhlah
ia'".
Ini semua terjadi di dunia,
tidak lain karena mulai nampaknya perkara akhirat yang merupakan alam
kehidupan. Sesungguhnya ilmu (hikmah) ini mulanya satu lalu menyebar dan ini
memerlukan pembawa dan penyebarnya. Semakin banyak yang menyebarkannya, karena
ini ilmu yang dimiliki orang-orang salih, maka ia pun terbagi. Itulah mengapa
pada masa awal, sedikit orang yang mendapatkannya, dan mereka yang
mendapatkannya pun tidak tampak dan tidak terlihat, karena ilmu tersebut
menyebar di antara mereka.
Semakin sedikit orang-orang
yang membawa ilmu tersebut, karena kerusakan yang telah merajalela di antara
mereka, semakin banyak mereka bisa mendapatnya, karena bagian yang seharusnya
menjadi milik orang-orang fasik diberikan juga kepada mereka. Itulah mengapa
orng-orang salih pada masa akhir banyak bisa mendapatkan ilmu, kasyf dan
terbukanya tabir (ghaib). Mereka yang dikaruniai ilmu ini pun akan terlihat dan
nampak karena ilmu tersebut menonjolkannya dikarenakan banyaknya. Maha suci
Dzat yang telah memberikan semuanya.
Amal mereka yang hidup di
akhir zaman tetap senilai bila ditimbang dengan amal para pandahulunya, karena
mereka mengikuti jalan pendahulunya. Ini karena timbangan yang ada adalah amal
dan bukan ilmu kepada Allah, dan ilmu kepada Allah akan mempunyai nilai
tersendiri
"Itulah karunia Allah
yang diberikannya kepada orang yang Ia kehendaki. Allah mempunyai karunia yang
agung" (al-Hadid: 21).
Risalah ke lima
Mutiara hikmah Ibnu Arabi
Allah berfirman
"Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, Dia
berkata kepadanya dan kepada bumi :"Datanglah kamu keduanya menurut
perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa", keduanya menjawab :"Kami
datang dengan suka hati". Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua
masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit
yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan
sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui"
(Fussilat : 11-12).
Allah juga berfirman :
"Dan apakah
orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasannya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara
keduanya". (al-Anbiya : 30)
Kata "kemudian"
mengisyaratkan bahwa kejadian tersebut terjadi setelah melewati tenggang waktu
penciptaan bumi dan kekuatan-kekuatannya selama empat masa, yaitu dua masa
untuk penciptaan zat dan fisik bumi, satu masa untuk kelahirnya yang kasat mata
dan satu masa untuk isi dan rahasia-rahasianya, atau dua masa untuk
memberikannya kekuatan ghaib dan dua masa untuk memberinya kekuatan lahir.
Lalu terjadilah perjalanan suci Allah dalam menyatukan langit dan menciptakannya. "Maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya". Lalu diberikannya kepada langit apa yang diperlukannya untuk perubahan, dari susunan, unsur-usurnya, pergantian dan perubahannya dan perpindahannya dari satu bentuk ke bentuk lainnya, inilah ketentuan ilahi terhadap langit-langit dalam firman-Nya :
Lalu terjadilah perjalanan suci Allah dalam menyatukan langit dan menciptakannya. "Maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya". Lalu diberikannya kepada langit apa yang diperlukannya untuk perubahan, dari susunan, unsur-usurnya, pergantian dan perubahannya dan perpindahannya dari satu bentuk ke bentuk lainnya, inilah ketentuan ilahi terhadap langit-langit dalam firman-Nya :
"Dia mewahyukan pada
tiap-tiap langit urusannya",
yaitu mengenai sisi
rohaniahnya, lalu ditampilkannya pergerakan dalam bentuk orbit di atas angkasa
untuk membentuk satu susunan sesuai dengan pola peredarannya. Ketika Allah
meyatukan langit dari ketercerai-beraiannya lalu berputar, ia tembus pandang
sehingga tidak menghalangi terlihatnya apa yang ada di baliknya, maka kita bisa
melihat dengan mata kita gemerlapnya lampu-lampu bintang yang berada di langit ke
delapan seakan-akan menghiasi langit dunia ini, Allah berfirman :
"Dan Kami hiasi langit
yang dekat (dunia) dengan bintang-bintang yang cemerlang".
Hiasan untuk sesuatu, tidak
selalu berada di dalamnya.
Adapun maksud dari
"pemeliharaan Allah" ialah dengan lemparan batu di atas angkasa untuk
menghancurkan mereka dari golongan setan yang hendak mencuri pendengaran, maka
Allah memberikan untuk mereka batu yang meluncur, yaitu bintang yang mempunyai
ekor, membelah angkasa hingga jatuh ke langit dunia. Meskipun demikian tidak
sedikitpun terlihat keretakan hingga menyebabkan kebocoran langit-langit
tersebut, demikian hingga mereka kembali dengan hina dan lelah.
Kemudian Allah menciptakan
di setiap langit dari ketujuh langit tersebut, bintang-bintang yang senantiasa
beredar
"Semuanya beredar
sesuai dengan garis edarnya" (al-Anbiya:33).
Demikianlah sebenarnya
kegiatan angkasa tidak lain pergerakan bintang-bintang bukan pergerakan
langit-langit. Pergerakan-pergerakan tersebut terlihat meskipun berada di
langit tertinggi, Allah berfirman "
Dan aku hiasi langit
dunia", karena mata manusia tidak akan mampu melihat kecuali apa yang ada
di langit dunia, itulah mengapa Allah mengungkapkannya dengan kata
"menghiasi" tidak dengan kata "menciptakan". Perhiasan
tidak selalu merupakan bagian dari sesuatu yang dihiasinya, bala tentara dan
kuda merupakan perhiasan kekuasaan namun keduanya berdiri sendiri.
Begitu pula lah, ketika
telah sempurna bangunan manusia dan ia mampu berdiri tegak dan Allah telah
Menghembuskan keagungan maka terjadilah sebutan untuknya sebagai manusia karena
kesempurnaannya dalam menerima rahasia ilahi yang tidak pernah diterima oleh
mahluk lainnya. Di sinilah mengapa manusia berhak menempati dua maqam, yaitu
maqam "syurah" (simbol) dan maqam "khilafah" (kekuasaan).
Demikian pula, ketika telah sempurna tubuh (manusia yang laksana) bumi, dan telah diberikan kepadanya kekuatan khusus sebagai mahluk yang tumbuh, seperti kekuatan menarik, mencerna, menahan, menolak, tumbuh, menghidupi dan telah disatukan untuknya ketujuh lapisan tubuhnya, yaitu kulit, daging, lemak, keringat, persendian, otot dan tulang, maka naiklah rahasia ilahi yang mengalir di dalamnya melalui sela-sela rohaniahnya menuju alam yang lebih tinggi di atas badaniyahnya, mirip kabut yang naik menembus tujuh langit, yaitu langit dunia yang penuh bintang-bintang dan lampu-lampu seperti kedua mata, kemudian langit hayalan, langit fikiran, langit akal, langit kenangan dan zikir, langit ingatan dan langit keraguan.
Demikian pula, ketika telah sempurna tubuh (manusia yang laksana) bumi, dan telah diberikan kepadanya kekuatan khusus sebagai mahluk yang tumbuh, seperti kekuatan menarik, mencerna, menahan, menolak, tumbuh, menghidupi dan telah disatukan untuknya ketujuh lapisan tubuhnya, yaitu kulit, daging, lemak, keringat, persendian, otot dan tulang, maka naiklah rahasia ilahi yang mengalir di dalamnya melalui sela-sela rohaniahnya menuju alam yang lebih tinggi di atas badaniyahnya, mirip kabut yang naik menembus tujuh langit, yaitu langit dunia yang penuh bintang-bintang dan lampu-lampu seperti kedua mata, kemudian langit hayalan, langit fikiran, langit akal, langit kenangan dan zikir, langit ingatan dan langit keraguan.
Ketika Allah mewahyukan
kepada setiap langit urusannya, maksudnya adalah memberikan kepada mata
kemampuan melihat sesuatu, kita tidak mampu membahas kaifiyahnya, bagaimana itu
terjadi. Kita memahaminya, namun pemahaman kita tidak mampu menghilangkan
perbedaan Allah dari alam yang kita lihat, dari khayalan kemustahilan dan dari
apa yang mampu dibuat oleh akal kita. Demikian di setiap langit ada yang
menyerupainya yang sejenisnya dan penghuni setiap langit tercipta darinya.
Mereka terpengaurh kepada keadaan dari tempat ia berada.
Allah menciptakan di
setiap langit bintang yang beredar di samping juga menciptakan bintang-bintang
yang bergerak, itulah sifat-sifat seperti hidup, mendengar, melihat, kuasa,
iradah, kehendak, mengerti dan berbicara. Semuanya berjalan sampai masa yang
ditentukan. Kekuatan tidak akan melewati apa yang telah menjadi kemampuannya,
mata tidak akan mampu melihat kecuali apa yang terlihat, demikian hingga ia
kembali dengan hina dengan tanpa menemukan setetespun kebocoran. Akal manusia
membenarkan itu semua, dibuktikan oleh ufuk yang ada dalam diri manusia,
semuanya atas kehendak Yang Maha Mulia dan Maha Mengetahui.
Inilah perjalanan
mahluk-Nya yang membuktikan keagungan-Nya dan mengantarkan kepada terbukanya
alam teratas. Mengapa disebut perjalanan yang artinya "terang",
karena ia membuka dan menunjukkan akhlaq seseorang, artinya perjalanan akan
menampilkan apa yang dimiliki setiap manusia dari akhlaq yang mulia dan tercela.
Maka ketika dikatakan perempuan itu terang mukanya, artinya terbukalah parasnya
dan terlihat cantik dan buruknya. Allah berfirman "Demi subuh apabila ia
mulai terang" (al-Muddatsir : 34) artinya subuh mulai tampak oleh
penglihatan. Orang arab juga mempunyai kebiasaan bila ingin mengetahui apakah
perempuan menyimpan aib yang dilakukannya, dari raut mukanya yang memerah atau
berubah. Allah berfirman "Dan Allah berkata benar dan Ia menunjukkan jalan
yang benar" (al-Ahzab : 4).
Risalah ke enam
Mutiara hikmah Ibnu Arabi
Perjalanan al-Qur'an
Allah berfirman
"Sesungguhnya Aku telah turunkan al-Qur'an di malam Lailatul
Qadar"(al-Qadr:1) "Sesungguhnya Aku telah turunkan al-Qur'an di malam
yang penuh berkah" (al-Dukhan:3).
Para ahli tafsir mengatakan
bahwa maksud dari ayat tersebut bahwa al-Qur'an diturunkan secara keseluruhan
ke langit dunia kemudian diturunkan secara bertahap ke dalam hati Muhammad
s.a.w. Kejadian ini terus berulang dan tak akan pernah berhenti selama
al-Qur'an dibaca, baik secara diam-diam atau terang-terangan. Hakekat Lailatul
Qadar bagi hamba Allah adalah kejernihan dan kebersihan, itulah mengapa Allah
mensifatinya "pada malam itu dijelaskan segala perkara yang penuh
hikmah".
Demikian halnya nafsu, diciptakan di dalamnya perkara-perkara yang penuh hikmah, dibisikkan kepadanya kedurhakaan dan ketaqwaannya. Hati manusia ibarat langit dunia yang diturunkan kepadanya al-Qur'an secara keseluruhan, lalu perlahan menjadi jelas dan terang tergantung kepada penerimanya. Mereka yang menerima dengan matanya tidak sama dengan mereka yang menerima dengan telinganya. Arti bahwa al-Qur'an diturunkan secara keseluruhan ke dalam hatimu, tidak berarti bahwa engkau telah hafal dan merasakannya. Namun artinya bahwa al-Qur'an itu telah kau miliki dan ada pada dirimu, hanya saja kamu tidak mengerti dan tidak menyadarinya. Langit dunia pun demikian, ketika turun kepaanya al-Qur'an, tidak berarti ia menjaga nash-nashnya. Ini permasalahan rohani.
Demikian halnya nafsu, diciptakan di dalamnya perkara-perkara yang penuh hikmah, dibisikkan kepadanya kedurhakaan dan ketaqwaannya. Hati manusia ibarat langit dunia yang diturunkan kepadanya al-Qur'an secara keseluruhan, lalu perlahan menjadi jelas dan terang tergantung kepada penerimanya. Mereka yang menerima dengan matanya tidak sama dengan mereka yang menerima dengan telinganya. Arti bahwa al-Qur'an diturunkan secara keseluruhan ke dalam hatimu, tidak berarti bahwa engkau telah hafal dan merasakannya. Namun artinya bahwa al-Qur'an itu telah kau miliki dan ada pada dirimu, hanya saja kamu tidak mengerti dan tidak menyadarinya. Langit dunia pun demikian, ketika turun kepaanya al-Qur'an, tidak berarti ia menjaga nash-nashnya. Ini permasalahan rohani.
Kemudian bagaimana
al-Qur'an turun ke dalam hatimu secara bertahap?
Adalah dengan terbukanya tabir
yang menyelimuti dan menutupimu. Aku telah menyaksikan itu dalam diriku sendiri
dan aku juga telah menyaksikan itu terjadi pada guruku, Abul Abbas al-Uraini
dari Andalusia barat yang termasuk orang-orang tinggi dan juga mendengar itu
dari banyak orang-orang yang mengikuti jalanku. Mereka menghafalkan al-Qur'an
atau ayat-ayatnya dengan tanpa bimbingan guru melalui pengajaran yang biasa
kita lihat. Mereka menemukan al-Qur'an dari dalam hatinya, berbicara dengan
bahasa al-Qur'an, bahasa Arab seperti yang ada dalam mushaf-mushaf kita,
meskipun yang menerimanya orang a'jam (asing yang tidak berbahasa Arab).
Diriwayatkan oleh Abu Musa al-Dhibali bahwa Abu Yazid al-Busthami meninggal
setelah menemukan bahwa al-Qur'an muncul di hatinya dengan tanpa dibimbing oleh
guru ngaji.
Lantas bagaimana al-Qur'an
senantiasa turun dan terus menerus turun ke dalam hati hamba-hamba, adalah
karena kejadian itu tidak mungkin terjadi dalam dua masa yang berbeda dan
kejadian itu juga tidak mungkin berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Bukankah hafalan yang dimiliki Zaid tidak mungkin berpindah ke Amir. Ketika
telinga mendengarkan suara yang membacakan ayat, maka Allah menurunkan ayat
tersebut ke dalam hati pendengarnya agar ia menyadari dan menjaganya. Apabila hati
tersebut sibuk, maka sang pembaca pun mengulangi bacaannya dan kembalilah
al-Qur'an itu turun. Begitulah al-Qur'an turun secara terus menerus dan abadi.
Kalau ada orang yang berkata "Allah telah menurunkan al-Qur'an
kepadaku" sesungguhnya ia tidak berbohong, karena al-Qur'an senantiasa
melakukan perjalanan ke dalam hati dan sanubari hamba-hamba yang menjaganya.
Mengapa Rasulullah s.a.w.
ketika datang Jibril kepadanya membawa al-Qur'an.beliau serta merta membacanya
bahkan sebelum wahyu itu selesai? Ini karena kuatnya kemampuan batin beliau,
hingga mampu menembus apa yang sedang dibawa Jibril a.s. lalu membacanya dan
lisannya tergesa-gesa membacanya sebelum wahyu itu selesai. Tidak ubahnya
seperti ketika kamu bicara dari apa yang tiba-tiba terbersit di hatimu. Ini
sangat sering terjadi pada kita, namun apa yang terjadi pada Rasulullah tentu
lebih tinggi dan lebih cepat dari kita. Meskipun demikian, Allah tetap
mengajari beliau dengan tata cara yang terbaik "dan janganlah kamu
(Muhammad) tergesa-gesa membaca al-Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukan
kepadamu". Allah mengajari beliau bersopan santun kepada Jibril a.s.
karena dia lah yang mengajarinya kata-kata yang benar dan indah dengan amal
shalih.
Maka sesungguhnya manusia
yang sempurna tidak lain adalah al-Qur'an itu sendiri. Ia datang dari dirinya
menuju malam yang penuh berkah. Malam itu ghaib dan langit-langit dunia adalah
tutup keagungan yang paling rendah, di sana ada penerang dan pembeda, yaitu
bintang-bintang. Tergantung hakekat ilahiyah untuk memahaminya. Ia menunjukkan
hukum-hukum yang berbeda-beda. Manusia yang memhami itu semua. Bintang-bintang
itu senantiasa turun ke dalam hatinya, hingga kemudian menyatu lalu sirnalah
dan terbukalah hijab itu, hingga sirnalah ia dari ketentuan "dimana"
dan "apa" dan hilanglah keghaiban.
Al-Qur'an yang diturunkan
adalah kebenaran, sebagaimana Allah menyebutnya kebenaran, setiap kebenaran
adalah hakekat dan hakekat al-Qur'an adalah manusia itu sendiri. A'ishah r.a.
pernah ditanyai tentang akhlaq Rasulullah s.a.w, ia berkata "Akhlaq
Rasulullah adalah al-Qur'an". Ulama berkata, sesungguhnya A'isyah
mengatakan firman Allah "Sesunggunya kamu (Muhammad) berakhlaq mulia"
(al-Qalam:4).
Renungilah perjalanan ini, engkau akan terpuji di ujungnya.
Renungilah perjalanan ini, engkau akan terpuji di ujungnya.
Risalah ke tujuh
Mutiara hikmah Ibnu Arabi
"Perjalanan melihat Allah"
"Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesunguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (al-Israa' :1).
Allah s.w.t. memulai kisah Israa' dengan tasbih (pensucian) untuk menghilangkan semua keraguan yang muncul dari orang-orang yang meragukan, mempersamakan dan membendakan-Nya. Sebab itu Allah menegaskan dengan ungkapan "agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami".
Allah memperjalankannya semata karena kehendak-Nya, sebagai karunia dan kepedulian-Nya dan itu belum pernah terbersit sebelumnya di hati Rasulullah.
Mengapa perjalanan itu dilakukan pada malam hari? Agar sesuai dengan kekhususan beliau dengan maqam "mahabbah", kecintaan, karena Allah telah menjadikannya kekasih yang dicintai-Nya. Kemudian ditegaskan dengan kata "malam", padahal isra' adalah perjalaan malam agar menepis keraguan dalam hati orang-orang yang ragu bahwa Isra' hanya dengan ruh beliau atau kemungkinan Isra' terjadi pada siang hari. Itulah kelebihan al-Quran, meskipun diturunkan dengan bahasa Arab, namun ia teruntukkan semua bahasa.
Malam adalah saat terindah bagi dua pemadu kasih, karena malam mampu menyatukan keduanya. Khalwat atau menyendiri dengan kekasih lebih bermakna di malam hari, agar bisa melihat tanda-tanda ilahiyah dengan cara yang lebih khusus, karena mata tidak akan bisa melihat sesuatu dengan cahaya yang ia pancarkan sendiri, sebab ia akan melihat kegelapan. Kemudian datanglah cahaya yang menjadikannya mampu melihat sesuatu, namun itu bila cahaya tersebut tidak mengalahkan kekuatan cahaya mata. Bila cahaya itu terlalu kuat sehingga mengalahkan cahaya mata, maka mata pun kembali kepada kegelapan karena tidak melihat kecuali cahaya itu, seperti mata yang tidak melihat apapun dalam kegelapan kecuali kegelapan itu sendiri. Mata hanya bisa melihat dengan cahaya yang sedang, sehingga ia bisa melihat cahaya tersebut dan apa-apa yang tersinari oleh cahayanya. Itulah rahasia perjalanan Rasulullah dalam Mi'raj di malam hari, agar nampak olehnya tanda-tanda kebesaran Allah.
Perjalanan itu dimulai dari Masjidil Haram sampai ke Masjidil Aqsha. Masjid adalah tempat sujud seseorang, sujud adalah ibadah. Al-Haram maknanya mencegah dan melindungi. Di situ lah tersimpan makna hakiki dari ibadah, yaitu mencegah dan melindungi. Kemudian dijelaskan bahwa perjalanan itu sampai ke Masjidil Aqsha. Al-Aqsha berarti yang terjauh. Dengan demikian yang dimaksudkan adalah Ibadah sampai ke batas terjauh yang merupakan salah satu sifat-sifat ketuhanan. Itulah mengapa Allah memilih nabi-Nya untuk menjalani dua rantang ibadah tersebut, sehingga mengantarkannya memiliki sifat mahluk termulia, dengan ibadah yang menyeluruh yang memberikannya ma'rifat yang sempurna.
Demikianlah, seorang hamba ketika ia diangkat di atas semua yang wujud dan ketika ia dimuliakan, maka dibersihkanlah kehambaannya dari sifat-sifat ketuhanan dan ketuanan. Dan ketika kehambaan seorang hamba diberi sifat-sifat ketuhanan, maka ia telah dipersamakan dengan tuhannya dan pada saat itulah ia akan menemukan kahancurannya. Allah berfirman "Rasakanlah (siksaan itu, wahai orang-orang yang berdosa) bukankah engkau adalah orang-orang yang mulia lagi bijaksana" (al-Dukhan : 49).
Mutiara hikmah Ibnu Arabi
"Perjalanan melihat Allah"
"Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesunguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (al-Israa' :1).
Allah s.w.t. memulai kisah Israa' dengan tasbih (pensucian) untuk menghilangkan semua keraguan yang muncul dari orang-orang yang meragukan, mempersamakan dan membendakan-Nya. Sebab itu Allah menegaskan dengan ungkapan "agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami".
Allah memperjalankannya semata karena kehendak-Nya, sebagai karunia dan kepedulian-Nya dan itu belum pernah terbersit sebelumnya di hati Rasulullah.
Mengapa perjalanan itu dilakukan pada malam hari? Agar sesuai dengan kekhususan beliau dengan maqam "mahabbah", kecintaan, karena Allah telah menjadikannya kekasih yang dicintai-Nya. Kemudian ditegaskan dengan kata "malam", padahal isra' adalah perjalaan malam agar menepis keraguan dalam hati orang-orang yang ragu bahwa Isra' hanya dengan ruh beliau atau kemungkinan Isra' terjadi pada siang hari. Itulah kelebihan al-Quran, meskipun diturunkan dengan bahasa Arab, namun ia teruntukkan semua bahasa.
Malam adalah saat terindah bagi dua pemadu kasih, karena malam mampu menyatukan keduanya. Khalwat atau menyendiri dengan kekasih lebih bermakna di malam hari, agar bisa melihat tanda-tanda ilahiyah dengan cara yang lebih khusus, karena mata tidak akan bisa melihat sesuatu dengan cahaya yang ia pancarkan sendiri, sebab ia akan melihat kegelapan. Kemudian datanglah cahaya yang menjadikannya mampu melihat sesuatu, namun itu bila cahaya tersebut tidak mengalahkan kekuatan cahaya mata. Bila cahaya itu terlalu kuat sehingga mengalahkan cahaya mata, maka mata pun kembali kepada kegelapan karena tidak melihat kecuali cahaya itu, seperti mata yang tidak melihat apapun dalam kegelapan kecuali kegelapan itu sendiri. Mata hanya bisa melihat dengan cahaya yang sedang, sehingga ia bisa melihat cahaya tersebut dan apa-apa yang tersinari oleh cahayanya. Itulah rahasia perjalanan Rasulullah dalam Mi'raj di malam hari, agar nampak olehnya tanda-tanda kebesaran Allah.
Perjalanan itu dimulai dari Masjidil Haram sampai ke Masjidil Aqsha. Masjid adalah tempat sujud seseorang, sujud adalah ibadah. Al-Haram maknanya mencegah dan melindungi. Di situ lah tersimpan makna hakiki dari ibadah, yaitu mencegah dan melindungi. Kemudian dijelaskan bahwa perjalanan itu sampai ke Masjidil Aqsha. Al-Aqsha berarti yang terjauh. Dengan demikian yang dimaksudkan adalah Ibadah sampai ke batas terjauh yang merupakan salah satu sifat-sifat ketuhanan. Itulah mengapa Allah memilih nabi-Nya untuk menjalani dua rantang ibadah tersebut, sehingga mengantarkannya memiliki sifat mahluk termulia, dengan ibadah yang menyeluruh yang memberikannya ma'rifat yang sempurna.
Demikianlah, seorang hamba ketika ia diangkat di atas semua yang wujud dan ketika ia dimuliakan, maka dibersihkanlah kehambaannya dari sifat-sifat ketuhanan dan ketuanan. Dan ketika kehambaan seorang hamba diberi sifat-sifat ketuhanan, maka ia telah dipersamakan dengan tuhannya dan pada saat itulah ia akan menemukan kahancurannya. Allah berfirman "Rasakanlah (siksaan itu, wahai orang-orang yang berdosa) bukankah engkau adalah orang-orang yang mulia lagi bijaksana" (al-Dukhan : 49).
Risalah ke delapan
Mutiara hikmah Ibnu Arabi
"Perjalanan Melihat Allah" (2)
Allah berfirman "Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang" (Mu'min:25). Demikianlah sifat ketuhanan apabila diterapkan kepada hamba bukan berarti akan menunjukkan kemuliaan dan ketinggiannya, karena di sini terjadi penyamaan dari apa yang semestinya dimiliki oleh hamba berupa memerlukan menjadi apa yang semetinya dimiliki oleh Ilahiyah berupa pemberian.
Demikian apa yang terjadi dalam kisah Isra', kehambaan yang dimiliki oleh Rasulullah sudah sedemikian sempurna, bahkan telah dinisbatkan kepada Allah, yaitu sebutan "hamba-Nya", maka hak dari Ketuhanan adalah memberinya imbalan kepadanya dengan megangkatnya menembus keghaiban dari Yang Ghaib. Ketika turun kehambaan Rasulullah s.a.w. hingga ke tingkat hamba yang haqiqi, maka diangkatnya ia ke atas kemuliaan ghaib. Dari sini beliau menyaksikan kebenaran sebagai perseorangan. Cinta akan membangkitkan rasa memiliki, sehingga tidak lagi bisa memberikan. Seorang hamba mungkin mampu memberikan, namun ia telah terbatasi, maka di sana tidak nampak olehnya apapun kecuali nama Dzat yang Maha Gahib itu.
Ketika wahyu diturunkan kepada Rasulullah untuk Isra', maka itu adalah ajakan bercengkerama, karena datang di malam hari. Bercengkerama adalah pembicaraan yang paling tinggi, karena di dalamnya mengandung ungkapan-ungkapan manis, mengandung petuah mengajak kepada kedekatan yang murni.
Tanda-tanda yang disaksikan oleh Rasulullah s.a.w. sebagian nampak di atas ufuk dan sebagian lagi ada dalam dirinya. Allah berfirman "Akan aku tunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri" (Fussilat : 53), "Dan di dalam dirimu (terdapat tanda-tanda kebesaran Allah) apakah kalian tidak menyaksikannya" (al-Dzariyat:21). Kedekatan (Jibril) kepada Rasulullah s.a.w. sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi (An-Najm:9) merupakan tanda-tanda yang nampak di ufuk yang membuktikan keberadaan maqam hamba dari Tuhannya dan menunjukkan maqam kecintaan (mahabbah) dan kedekatannya kepada Allah, "Lalu dia (Jibril) menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan", inilah maqam bercengkerama dengan Yang Maha Ghaib.
Allah pun menegaskan "Nurani tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya" (An-Najm:11). Nurani yang diungkapkan dengan kata "fuad" adalah hati dari hati (qalb). Nurani bisa melihat, demikian hati bisa melihat. Hati bisa melihat mulai dari kebutaan lalu ia menerima kebenaran yang ditunjukkan dan didekatkan kepadanya, sesuai firman-Nya "Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada" (al-Hajj: 46). Nurani tidak akan pernah buta karena ia samasekali tidak berhubungan dengan mahluk, ia hanya behubungan dengan Tuhannya, dan dia berhubungan dengan Tuhannya semata melalui jalan ghaib yang paling tinggi, sesuai dengan maqam dan tingkatannya.
Itulah mengapa Allah menegaskan "Nurani tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya" (An-Najm:11). Sering mata salah melihat, meskipun ungkapan ini hanya dari orang yang bodoh semata, karena yang salah melihat adalah pengendalinya bukan apa yang dilihat oleh panca indera. Mereka yang berkata mata telah salah lihat karena tidak sesuai dengan hakikat, maka ini berarti membohongi pemilik mata, karena sifat bohong tidak pernah terjadi pada mata.
Hamba yang ada pada kisah Isra' di atas, adalah hamba yang benar-benar hamba, yang disucikan dalam kehambannya. Begitu juga tentang Yang Maha Ghaib adalah puncak dari keghaiban. Tanda-tanda yang dilihatnya dalam dirinya, merupakan cernaan dari kehambaan hamba terhadap kaghaiban ghaib dengan menggunakan mata nurani, maka tidak ada seorangpun yang melihatnya. Sedangkan tanda-tanda yang ada di ufuk adalah apa yang dilihat oleh Rasulullah s.a.w. pada bintang-bintang, langit, tangga-tangga naik, derikan Qalam, Singgasana dan Sidratul Muntaha. Ini semua menunjukkan bagaimana maqam hamba yang telah dikhususkan oleh Yang Maha Ghaib.
Allah mengingatkan "(Masjidil Aqsha) yang Kami Berkahi apa sekelilingnya". Allah tidak menyebutkan berkah Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha itu sendiri, karena sudah jelas, keduanya merupakan tempat berduyun-duyunnya manusia karena kemuliaannya. Masjidil Haram kepada Masjidil Aqsha ibarat Sorga dan Neraka, "Sorga senantiasa dikelilingi dengan hal yang dibenci" seperti firman Allah: "Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok" (al-'Ankabut:67). Dan "Neraka senantiasa dikelilingi dengan nafsu syahwat", seperti firman Allah "Masjidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya".
Buah dari kisah perjalanan di atas adalah menyaksikan Yang Maha Ghaib. Allah berkata benar dan menunjukkan jalan yang benar.
Mutiara hikmah Ibnu Arabi
"Perjalanan Melihat Allah" (2)
Allah berfirman "Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang" (Mu'min:25). Demikianlah sifat ketuhanan apabila diterapkan kepada hamba bukan berarti akan menunjukkan kemuliaan dan ketinggiannya, karena di sini terjadi penyamaan dari apa yang semestinya dimiliki oleh hamba berupa memerlukan menjadi apa yang semetinya dimiliki oleh Ilahiyah berupa pemberian.
Demikian apa yang terjadi dalam kisah Isra', kehambaan yang dimiliki oleh Rasulullah sudah sedemikian sempurna, bahkan telah dinisbatkan kepada Allah, yaitu sebutan "hamba-Nya", maka hak dari Ketuhanan adalah memberinya imbalan kepadanya dengan megangkatnya menembus keghaiban dari Yang Ghaib. Ketika turun kehambaan Rasulullah s.a.w. hingga ke tingkat hamba yang haqiqi, maka diangkatnya ia ke atas kemuliaan ghaib. Dari sini beliau menyaksikan kebenaran sebagai perseorangan. Cinta akan membangkitkan rasa memiliki, sehingga tidak lagi bisa memberikan. Seorang hamba mungkin mampu memberikan, namun ia telah terbatasi, maka di sana tidak nampak olehnya apapun kecuali nama Dzat yang Maha Gahib itu.
Ketika wahyu diturunkan kepada Rasulullah untuk Isra', maka itu adalah ajakan bercengkerama, karena datang di malam hari. Bercengkerama adalah pembicaraan yang paling tinggi, karena di dalamnya mengandung ungkapan-ungkapan manis, mengandung petuah mengajak kepada kedekatan yang murni.
Tanda-tanda yang disaksikan oleh Rasulullah s.a.w. sebagian nampak di atas ufuk dan sebagian lagi ada dalam dirinya. Allah berfirman "Akan aku tunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri" (Fussilat : 53), "Dan di dalam dirimu (terdapat tanda-tanda kebesaran Allah) apakah kalian tidak menyaksikannya" (al-Dzariyat:21). Kedekatan (Jibril) kepada Rasulullah s.a.w. sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi (An-Najm:9) merupakan tanda-tanda yang nampak di ufuk yang membuktikan keberadaan maqam hamba dari Tuhannya dan menunjukkan maqam kecintaan (mahabbah) dan kedekatannya kepada Allah, "Lalu dia (Jibril) menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan", inilah maqam bercengkerama dengan Yang Maha Ghaib.
Allah pun menegaskan "Nurani tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya" (An-Najm:11). Nurani yang diungkapkan dengan kata "fuad" adalah hati dari hati (qalb). Nurani bisa melihat, demikian hati bisa melihat. Hati bisa melihat mulai dari kebutaan lalu ia menerima kebenaran yang ditunjukkan dan didekatkan kepadanya, sesuai firman-Nya "Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada" (al-Hajj: 46). Nurani tidak akan pernah buta karena ia samasekali tidak berhubungan dengan mahluk, ia hanya behubungan dengan Tuhannya, dan dia berhubungan dengan Tuhannya semata melalui jalan ghaib yang paling tinggi, sesuai dengan maqam dan tingkatannya.
Itulah mengapa Allah menegaskan "Nurani tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya" (An-Najm:11). Sering mata salah melihat, meskipun ungkapan ini hanya dari orang yang bodoh semata, karena yang salah melihat adalah pengendalinya bukan apa yang dilihat oleh panca indera. Mereka yang berkata mata telah salah lihat karena tidak sesuai dengan hakikat, maka ini berarti membohongi pemilik mata, karena sifat bohong tidak pernah terjadi pada mata.
Hamba yang ada pada kisah Isra' di atas, adalah hamba yang benar-benar hamba, yang disucikan dalam kehambannya. Begitu juga tentang Yang Maha Ghaib adalah puncak dari keghaiban. Tanda-tanda yang dilihatnya dalam dirinya, merupakan cernaan dari kehambaan hamba terhadap kaghaiban ghaib dengan menggunakan mata nurani, maka tidak ada seorangpun yang melihatnya. Sedangkan tanda-tanda yang ada di ufuk adalah apa yang dilihat oleh Rasulullah s.a.w. pada bintang-bintang, langit, tangga-tangga naik, derikan Qalam, Singgasana dan Sidratul Muntaha. Ini semua menunjukkan bagaimana maqam hamba yang telah dikhususkan oleh Yang Maha Ghaib.
Allah mengingatkan "(Masjidil Aqsha) yang Kami Berkahi apa sekelilingnya". Allah tidak menyebutkan berkah Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha itu sendiri, karena sudah jelas, keduanya merupakan tempat berduyun-duyunnya manusia karena kemuliaannya. Masjidil Haram kepada Masjidil Aqsha ibarat Sorga dan Neraka, "Sorga senantiasa dikelilingi dengan hal yang dibenci" seperti firman Allah: "Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok" (al-'Ankabut:67). Dan "Neraka senantiasa dikelilingi dengan nafsu syahwat", seperti firman Allah "Masjidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya".
Buah dari kisah perjalanan di atas adalah menyaksikan Yang Maha Ghaib. Allah berkata benar dan menunjukkan jalan yang benar.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan