Isnin, 12 November 2012

PENGANTAR kepada MEMAHAMI PEMIKIRAN IBNU ARABI 06


MUTIARA HIKMAH IBNU ARABI – Oleh Adnan Dahalan
Dipetik dari Laman FB - BBM4U

Assalamu'alaikum !

Mutiara hikmah Ibnu Arobi
Buah-buah Perjalanan

"Perjalanan Melihat Allah" 

Allah berfirman

"Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang" (Mu'min:25). 

Demikianlah sifat ketuhanan apabila diterapkan kepada hamba bukan berarti akan menunjukkan kemuliaan dan ketinggiannya, karena di sini terjadi penyamaan dari apa yang semestinya dimiliki oleh hamba berupa memerlukan menjadi apa yang semetinya dimiliki oleh Ilahiyah berupa pemberian.

Demikian apa yang terjadi dalam kisah Isra', kehambaan yang dimiliki oleh Rasulullah sudah sedemikian sempurna, bahkan telah dinisbatkan kepada Allah, yaitu sebutan "hamba-Nya", maka hak dari Ketuhanan adalah memberinya imbalan kepadanya dengan megangkatnya menembus keghaiban dari Yang Ghaib. 

Ketika turun kehambaan Rasulullah s.a.w. hingga ke tingkat hamba yang haqiqi, maka diangkatnya ia ke atas kemuliaan ghaib. Dari sini beliau menyaksikan kebenaran sebagai perseorangan. Cinta akan membangkitkan rasa memiliki, sehingga tidak lagi bisa memberikan. Seorang hamba mungkin mampu memberikan, namun ia telah terbatasi, maka di sana tidak nampak olehnya apapun kecuali nama Dzat yang Maha Gahib itu.

Ketika wahyu diturunkan kepada Rasulullah untuk Isra', maka itu adalah ajakan bercengkerama, karena datang di malam hari. Bercengkerama adalah pembicaraan yang paling tinggi, karena di dalamnya mengandung ungkapan-ungkapan manis, mengandung petua mengajak kepada kedekatan yang murni.

Tanda-tanda yang disaksikan oleh Rasulullah s.a.w. sebagian nampak di atas ufuk dan sebagian lagi ada dalam dirinya.

Allah berfirman 

"Akan aku tunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri" (Fussilat : 53),

"Dan di dalam dirimu (terdapat tanda-tanda kebesaran Allah) apakah kalian tidak menyaksikannya" (al-Dzariyat:21).

Kedekatan (Jibril) kepada Rasulullah s.a.w. sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi (An-Najm:9) merupakan tanda-tanda yang nampak di ufuk yang membuktikan keberadaan maqam hamba dari Tuhannya dan menunjukkan maqam kecintaan (mahabbah) dan kedekatannya kepada Allah, "Lalu dia (Jibril) menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan", inilah maqam bercengkerama dengan Yang Maha Ghaib.

Allah pun menegaskan "Nurani tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya" (An-Najm:11). Nurani yang diungkapkan dengan kata "fuad" adalah hati dari hati (qalb). Nurani boleh melihat, demikian hati boleh melihat. Hati boleh melihat mulai dari kebutaan lalu ia menerima kebenaran yang ditunjukkan dan didekatkan kepadanya, sesuai firman-Nya 
"Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada" (al-Hajj: 46). 

Nurani tidak akan pernah buta karena ia samasekali tidak berhubungan dengan mahluk, ia hanya berhubungan dengan Tuhannya, dan dia berhubungan dengan Tuhannya semata melalui jalan ghaib yang paling tinggi, sesuai dengan maqam dan tingkatannya.

Itulah mengapa Allah menegaskan

"Nurani tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya" (An-Najm:11). 

Sering mata salah melihat, meskipun ungkapan ini hanya dari orang yang bodoh semata, karena yang salah melihat adalah pengendalinya bukan apa yang dilihat oleh panca indera. Mereka yang berkata mata telah salah lihat karena tidak sesuai dengan hakikat, maka ini berarti membohongi pemilik mata, karena sifat bohong tidak pernah terjadi pada mata.

Hamba yang ada pada kisah Isra' di atas, adalah hamba yang benar-benar hamba, yang disucikan dalam kehambannya. Begitu juga tentang Yang Maha Ghaib adalah puncak dari keghaiban. Tanda-tanda yang dilihatnya dalam dirinya, merupakan cernaan dari kehambaan hamba terhadap kaghaiban ghaib dengan menggunakan mata nurani, maka tidak ada seorangpun yang melihatnya. Sedangkan tanda-tanda yang ada di ufuk adalah apa yang dilihat oleh Rasulullah s.a.w. pada bintang-bintang, langit, tangga-tangga naik, derikan Qalam, Singgasana dan Sidratul Muntaha. 

Ini semua menunjukkan bagaimana maqam hamba yang telah dikhususkan oleh Yang Maha Ghaib.
Allah mengingatkan "(Masjidil Aqsha) yang Kami Berkahi apa sekelilingnya". Allah tidak menyebutkan berkah Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha itu sendiri, karena sudah jelas, keduanya merupakan tempat berduyun-duyunnya manusia karena kemuliaannya. Masjidil Haram kepada Masjidil Aqsha ibarat Sorga dan Neraka, "Sorga senantiasa dikelilingi dengan hal yang dibenci" seperti firman Allah:
"Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok" (al-'Ankabut:67). 

Dan "Neraka senantiasa dikelilingi dengan nafsu syahwat", seperti firman Allah
"Masjidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya".

Buah dari kisah perjalanan di atas adalah menyaksikan Yang Maha Ghaib. Allah berkata benar dan menunjukkan jalan yang benar.@@@

Risalah ke satu
Mutiara hikmah Ibnu Arabi

Bismillahirrahmanirrahiim.

Segala puji bagi Allah Yang bersinggasana di atas mega "Arsy", setelah Ia ciptakan bumi dan langit-Nya. Yang telah menurunkan al-Qur'an di malam Lailatul Qadar, malam yang diberkahi, ke langit dunia secara keseluruhan dengan surah-surah dan ayat-ayatnya. Ia telah menjalankan kendaraan melewati tempat-tempat pengumpulan dan pemilihan, Ia jadikan itu sebagai ketentuan-Nya yang terpuji. Ia telah menjalankan hamba-Nya Muhammad, di waktu malam, dari masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian ke langit untuk menunjukkan sebagian dari ayat-ayat-Nya.

Ia telah menurunkan Adam ke bumi cobaan-Nya setelah Ia mengeluarkannya dari sorga kenikmatan dan kesenangan-Nya. Ia telah mengangkat Idris a.s. dari dunia nyata hingga Ia menurunkannya di tempat yang mulia dan tinggi derajatnya. Ia telah membawa Nuh a.s. melewati gelombang badai topan-Nya di atas bahtera keselamatan-Nya. Ia telah membawa Ibrahim a.s. kepada hidayah dan karamah-Nya. Ia telah memisahkan Yusuf a.s. dari orang tuanya, kemudian ia menyusulkan orang tuanya kepadanya demi membenarkan bahwa mimpi yang pernah dilihatnya adalah pemberian-Nya yang terindah.

Ia telah menjalankan Luth dan keluarganya untuk Ia selamatkan dari azab dan siksaan-Nya. Ia percepat perjalanan Musa a.s. dari kaum-kaumnya untuk menghadap Tuhannya, kemudian Ia berikan kepadanya cahaya berupa api untuk memenuhi kebutuhannya. Musa datang kepada-Nya, mendekati-Nya dalam bermunajat. Ia telah mengeluarkan Musa dari kaumnya demi risalah-Nya. Ia telah menjalankan kaum Musa untuk menenggelamkan mereka yang menentang Tuhan dengan kesesatan mereka. 

Lalu Ia melanjutkan perjalanan Musa sampai kepada batas pengetahuan hingga bertemu dangan orang yang mendapatkan ilmu da karunia-Nya. Lalu Ia melanjutkan perjalanan Musa yang menghantarkannya kepada kekhususan dan kemampuan dalam memberikan keputusan yang diberikan Allah kepadanya. Ia telah membawa Musa kecil dalam keranjang menelusuri sungai-sungai kehancuran.

Ia telah mengangkat Isa kepada-Nya padahal ia adalah kalimat dari kalimat Allah. Ia menjalankan Yunus a.s. dengan kemarahannya memuncak hingga tersesat dalam perut Ikan yang gegap gempita. Ia telah memuliakan Thalut dengan bala tentaranya termasuk Daud a.s. untuk melewati sungai cobaan agar mereka bisa meneguk seteguk air-Nya. Ia telah menyalakan ufuk di tangan Dzul Qarnain untuk menciptakan pagar pemisah antara hamba Allah yang taat dan durhaka.

Kemudian Ia telah menurunkan Jibril di hati setiap nabi-nabiNya dan Ia mengangkat kalimah tauhid melalui amal-amal shalih dan memuliakan pemiliknya dengan melihat Dzat-Nya.

Shalawat serta salam senantiasa terkirim kepada Muhammad, sebaik-baik orang yang mengenakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Keselamatan untuknya serta untuk keluarga, sahabat-sahabat, isteri-isteri dan anak-anaknya.

*************************************************************

Kutipan di atas adalah pembukaan dari kitab "al-Isfar 'an-Nataijil Asfar" ("Buah-buah perjalanan"). Kitab tersebut merupakan renungan-renungan tasawuf atas beragam perjalanan yang dialami oleh mahluk Allah, ditulis oleh seorang ulama besar Muhyiddin ibn al-Arabi, terkenal dengan nama "Ibnu Arabi". Beliau merupakan salah satu ulama Andalusia, lahir tahun 560 H/1165M di kota Marsiah wilayah timur Andalus dan meninggal tahun 638H/1240M di Damaskus. Pengembaraannya dalam mencari ilmu dan mendalami ilmu tasawuf telah membuahkan berbagai karya-karya monumental. 

Kajiannya yang begitu mendalam dalam karya-karyanya telah menimbulkan banyak kritik dan pujian. Banyak yang menuduhnya menyeleweng dengan konsep "wihdatul wujud" (kesatuan wujud), namun bagi yang telah mendalami dan memahami karya-karyanya akan menemukan bahwa sebenarnya dalam karya beliau penuh berisi untaian mutiara-mutiara hikmah ketuhanan yang maha tinggi dan petuah-petuah ketauhidan yang maha dalam.

Sehubungan dengan telah habisnya pengajian "Futuhul Ghaib" karya Syekh Abdul Qadir Jailani, redaksi Pesantren Virtual akan melanjutkan pengajian tasawuf dengan mengetengahkan cuplikan-cuplikan hikmah tasawuf dari karya Ibnu Arabi. Terjemahan dari petuah-petuah Ibnu Arabi tersebut akan ditampilkan secara berkala dalam pengajian email Pesantren Virtual dengan harapan bisa menambah kedalaman ilmu dan agama kita serta bermanfaat bagi kita di dunia dan akhirat. Amin allahumma amin.

Risalah ke dua
Mutiara hikmah Ibnu Arabi

Terdapat tiga jenis perjalanan yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya, yaitu perjalanan dari Allah, perjalanan kepada-Nya dan perjalanan bersama-Nya. Mereka yang melakukan perjalanan dari Allah, keuntungan yang akan didapatkannya adalah sebatas apa yang diperolehnya dalam perjalanan tersebut. Mereka yang melakukan perjalanan bersama Allah, tidak akan mendapatkan keuntungan kecuali apa yang ada dalam dirinya. Kedua perjalanan ini pasti mempunyai tujuan dan memerlukan ayunan langkah untuk mencapainya, kecuali perjalanan orang yang sesat yang tidak mempunyai tujuan yang pasti.

Jalan yang dilalui seorang musafir adalah darat dan laut. Allah berfirman "Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan dan lautan" (Yunus : 22). Allah mendahulukan kata "darat" sebelum "laut" menujukkan bahwa seorang musfir tidak akan bepergian melewati laut kecuali terpaksa. Umar bin Khattab pernah mencela : "Seandainya tidak ada ayat ini, tentu aku akan melarang orang bepergian melewati laut".

Seandainya ayat yang menganjurkan bepergian hanya sabda Allah "Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan ni'mat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya. Sesungguhnya dari itu semua (apa yang kalian lihat) adalah tanda-tanda bagi mereka yang sangat sabar dan banyak bersyukur" (Luqman : 31), tentu ayat (surah Yunus) di atas juga cukup menjadi jawabannya.

Setiap perjalanan pasti akan melewati bahaya, kecuali perjalanan yang ditanggung oleh Allah, seperti perjalanan Isra'. Orang yang diperjalankan atau diajak berpergian oleh Allah pasti akan selamat, sementara orang yang berpergian sendiri pasti akan melewati mara bahaya.

Karena "wujud" sumbernya adalah "gerak", maka demikian halnya Allah tidak akan terselimuti oleh sifat diam dan berhenti, karena itu mencerminkan ketidak-adaan (hampa). Demikian lah perjalanan ini selalu terjadi di alam langit (atas) dan alam bumi (bawah). Hakekat ilahiyah juga demikian, selalu diwarnai perjalanan pergi dan perjalanan pulang. Kita tahu bahwa Allah turun ke langit dunia dan kita tahu bahwa Allah bersinggasana di atas langit, seperti yang diceritakan oleh ayat-ayat-Nya. Kita tahu itu dengan tanpa perumpamaan dan persamaan.

Risalah ke tiga
Mutiara hikmah Ibnu Arabi

Alam langit selalu diwarnai dengan perputaran bersama-sama dengan apa yang terkandung di dalamnya. Ia tidak pernah berhenti dan diam. Seandainya ia diam niscaya alam semesta ini hancur dan sirna. Perputaran bintang-bintang di angkasa merupakan perjalanan mereka, seperti dijelaskan oleh al-Qur'an "Dan telah Kami tetapkan bagi bulan tempat-tempatnya" (Yaseen :39). Bergeraknya empat arah angin, bergeraknya janin-janin dalam setiap detik dengan perubahan dan perpindahan pada setiap nafas, perjalanan fikiran antara hal terpuji dan tercela, perjalanan nafas yang dihembuskan oleh mereka yang bernafas, perjalanan mata antara bangun dan terpejam, perjalanan pandangan dari satu dunia ke dunia yang lainnya dengan pengamatan dan I'tibar, semuanya adalah perjalanan yang dicerna oleh akal manusia.

Ada yang berkata bahwa dunia fisik ini sejak diciptakan oleh Allah senantiasa dalam perjalanan (proses) yang menempati ruang dan tak pernah berhenti. Maka sebenarnya kita semua senantiasa dalam perjalanan itu, sejak kelahiran kita, kelahiran nenek moyang kita sampai masa yang tak berujung. Ketika kamu merasa sampai di satu tujuan kemudian kamu berkata: "Inilah sebenarnya tujuanku", tiba-tiba terbuka untukmu jalan-jalan yang lain dan jalan itu terus bertambah, lalu kamu pun meninggalkan tempat itu. Tidak ada satu pun tempat dimana kamu sampai kepadanya, meskipun kamu telah berucap "Inilah tujuanku", pasti sejenak setelah itu kamu meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan yang lain.

Betapa banyak kamu berjalan melewat tingkat-tingkat kejadian dalam dirimu, mulai dari darah yang mengalir di tubuh bapak dan ibumu, kemudian darah itu berkumpul membentukmu entah dengan atau tanpa kesengajaan mereka. Kamu pun berubah menjadi mani (sperma), lalu berubah menjadi segumpal darah, lalu kamu melewati itu dan berubah menjadi segumpal daging, lalu tulang yang kemudian terbungkus daging, lalu ditumbuhkan sekali lagi dan dikeluarkanlah kamu ke dunia.

Lalu kamu pun melewati masa bayi, ke masa kanak-kanak lalu ke masa remaja dan dewasa, lalu ke masa tua dan pikun, inilah masa yang paling hina dari umurmu. Dari situ kamu pun pergi ke alam barzakh, setelah itu kamu akan melewatinya menuju hari kebangkitan. Kamu pun akan melewati jembatan (shirat) yang akan menghantarkanmu ke sorga atau ke neraka, bila kamu memang penduduknya. Namun apabila kamu bukan penduduk neraka, kamu masih akan melewati perjalanan neraka menuju sorga dan dari sorga ke tempat melihat Allah dan begitulah selamanya, kamu akan mondar-mandir dari sorga ke tempat melihat Allah.

Mereka yang di neraka juga terus mengalami perjalanan, naik dan turun silih berganti seperti sepotong daging yang direbus di dalam periuk di atas api yang membara
"Setiap kali kulit mereka terkelupas, Aku gantikan dengan kulit yang baru agar mereka merasakan pedihnya siksaan-Ku" (An-Nisaa :56).

Tidak ada yang diam dan berhenti di alam ini. Siang dan malam, dunia ini senantiasa diwarnai dengan gerak dan perubahan yang silih berganti. Fikiran, perilaku dan sifat juga demikian, senantiasa berubah silih berganti bersama perubahan siang dan malam dan bersama silih bergantinya hakekat ilahiyah di atas semuanya. Hakekat ilahiyah terkadang turun dengan nama-Nya Yang penuh kasih sayang, terkadang dengan nama-Nya Yang Maha menerima taubat, Maha Memaafkan, terkadang dengan nama-Nya Yang Maha Memberi rizqi, Maha Mengkaruniai dan terkadang turun dengan nama-Nya Yang Maha Membalas dan dengan semua nama-nama Ilahiyah-Nya.

Hakekat ilahiyah tersebut terkadang turun kepadamu dari keagungan-Nya dengan karunia, rizqi, dendam, taubat, ampunan dan kasih sayang. Ia turun kepadamu atas permohonan dan ia turun dari-Nya atas karunia.

Dari situ seorang hamba hendaknya berfikir, agar menyelami perbedaan antara perjalanan yang ia diperintah untuk mempersiapkannya, perjalanan yang di dalamnya penuh dengan kabahagiaan, yaitu perjalanan kepada-Nya, bersama-Nya dan dari-Nya. Semua perjalanan ini telah disyariatkan kepadanya. Dan antara perjalanan yang tidak diperintahkan untuk mempersiapkannya, seperti mengayunkan kaki di atas bumi ke jalan yang halal, perjalanan dagang untuk melipatgandakan harta dan menyimpannya, dan seperti perjalanan nafas keluar dan masuk. Ini merupakan kabutuhan bagi pertumbuhannya.

Kita berdoa kepada Allah agar dikaruniai akhir yang penuh bahagia dan kesehatan yang sempurna.

Risalah ke empat
Mutiara hikmah Ibnu Arabi

Mereka yang melakukan perjalanan dari Allah terdapat tiga golongan. Pertama : mereka yang dicampakkan, yaitu iblis dan orang-orang yang menyekutukan Allah. Kedua : mereka yang tidak ditolak dan tidak dicampakkan, namun penuh dengan kebimbangan dan keraguan, inilah orang-orang yang bergelimang maksiat, karena mereka tidak mampu singgah dalam keramaian dengan menentang rasa malu yang menguasainya. Dan ketiga adalah perjalanan ujian dan pemilihan, seperti perjalanan para utusan Allah dari-Nya kepada makhluq dan perjalanan kembali para pewaris dan ahli makrifat dari pengembaraannya menyaksikan dunia nafsu dalam kekuasaan, pemerintahan, tipu daya dan rekayasa.

Orang-orang yang berpergian menuju Allah juga terdapat tiga golongan. Pertama : mereka yang menyekutukan Allah, mem-benda-kan-Nya, menyerupakan-Nya dengan mahluk dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang tidak layak untuk-Nya. Allah telah menegaskan
"Tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya" (al-Syuura:11).

Mereka ini hanya akan sampai kepada hijab yang menutupinya dari rahmat-Nya. Kedua adalah mereka yang mensucikan Allah dari segala hal yang tidak layak dan mustahil untuk-Nya, dari apa-apa yang mutasyabihat yang datang dalam kitab-Nya, lalu ia berkata
"Allah Maha Mengetahui dari apa yang ada dalam kitab-Nya".

Meskipun mereka tidak menyekutukan Allah, namun mereka masih melalui penyimpangan. Mereka ini akan sampai kepada ketercelaan, meskipun tidak sampai kepada hijab atau ketertutupan dan siksaan yang abadi. Ibaratnya apa yang didapatkan orang-orang yang memberi santunan, berdiri di depan pintu, lalu orang-orang menempatkannya di tempat mulia, namun ia dicela karena tidak memberikan penghormatan.

Ketiga adalah perjalanan orang-orang yang dijaga dan dilindungi, diperhatikan dan disertai dengan petunjuk jalan. Mereka ditakuti manusia namun mereka tidak pernah takut, disedihkan manusia namun mereka tidak pernah sedih, karena sebenarnya mereka telah meninggalkan ketakutan dan kesedihan itu. Orang yang telah meninggalkan sesuatu tidak mungkin ia ada di dalamnya. "Mereka tidak disedihkan oleh kedahsyatan yang besar (pada hari kiamat) dan mereka disambut oleh para malaikat. Malaikat berkata 'Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu'" (al-Anbiya':103). Itulah kebahagian mereka di akherat. Mereka pergi ke sana.

Sedangkan orang-orang yang pergi bersama Allah, atau mendalami Allah terdapat dua golongan. Golongan pertama ialah mereka yang pergi dengan pemikirannya dan menyelam dengan akalnya lalu mereka tersesat dan pasti akan tersesat, karena mereka berkeyakinan bahwa tidak ada penunjuk jalan kecuali akal dan fikirannya. Itulah para filosuf dan orang-orang yang mengikuti jalannya.

Golongan kedua adalah mereka yang diantarkan kepada-Nya, yaitu para utusan, nabi Allah dan orang-orang yang terpilih dari para wali-Nya, seperti Sahl bin Abdullah, Abu Yazid, Farqad As-sabkhi, Junaid bin Muhammad, Hasan Basri dan para ulama terkenal di zaman kita ini.

Akan tetapi kalau diamati, zaman kita bukanlah seperti zaman-zaman yang lalu (zaman Rasulullah) karena dekatnya zaman kita dengan alam akhirat, maka tabir-tabir rahasia banyak terkuak pada masa ini, lapisan-lapisan ruh mulai jelas dan nampak. Ulama pada masa kita lebih cepat membuka tabir (ilmu ghaib), lebih banyak mencapai kesaksian, lebih luas makrifat dan lebih sempurna dalam hakekat, namun lebih sedikit dalam amalnya dibandingkan dengan ulama zaman dulu.

Mereka dulu banyak amalnya meskipun lebih sedikit kashf-nya (terbuka ke alam ghaib) dibandingkan kita. Itu karena kita jauh dari zaman sahabat yang menyaksikan langsung nabi Muhammad s.a.w. dan turunnya ruh-ruh kepadanya di tengah-tengah mereka. Mereka yang menerima cahaya pada masa itu sangat sedikit seperti Abu Bakar siddiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib r.a. dan para ulama sepadannya.

Amal pada masa lalu lebih banyak dilakukan dan ilmu pada masa sekarang lebih banyak didapatkan, dan ini terus bertambah hingga pada saat turunnya Isa a.s. Satu rakaat dari kita sekarang ini nilainya seperti ibadah satu orang orang pada masa lalu sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah s.a.w.

"Bagi orang yang beramal diantara mereka (pada masa dimana kebencian menjadi panutan, nafsu menjadi guru, harta menjadi penentu dan orang-orang bangga dengan pendapatnya sendiri-sendiri) pahalanya seperti pahala limapuluh orang yang beramal seperti amalan (pada zamanmu) sekalian" (Tirmizi, Ibnu Majah).

Alangkah indahnya perumpamaan itu dan alangkah halusnya isyarat yang diberikan Rasulullah s.a.w. Ini karena kedekatan kita dengan zaman akhir dan mulai nampaknya hukum-hukum dunia barzakh. Tidakkah kamu ingat perkataan Rasulullah:

"Tidak akan datang hari kiamat sehingga paha seseorang berbicara tentang apa yang diperbuat si tuannya dan ujung cemeti (menceritakan apa yang dilakukan pemiliknya) dan pohon-pohon memberi tahu: 'Ini ada orang yahudi yang bersembunyi di belakangku, bunuhlah ia'".

Ini semua terjadi di dunia, tidak lain karena mulai nampaknya perkara akhirat yang merupakan alam kehidupan. Sesungguhnya ilmu (hikmah) ini mulanya satu lalu menyebar dan ini memerlukan pembawa dan penyebarnya. Semakin banyak yang menyebarkannya, karena ini ilmu yang dimiliki orang-orang salih, maka ia pun terbagi. Itulah mengapa pada masa awal, sedikit orang yang mendapatkannya, dan mereka yang mendapatkannya pun tidak tampak dan tidak terlihat, karena ilmu tersebut menyebar di antara mereka.

Semakin sedikit orang-orang yang membawa ilmu tersebut, karena kerusakan yang telah merajalela di antara mereka, semakin banyak mereka bisa mendapatnya, karena bagian yang seharusnya menjadi milik orang-orang fasik diberikan juga kepada mereka. Itulah mengapa orng-orang salih pada masa akhir banyak bisa mendapatkan ilmu, kasyf dan terbukanya tabir (ghaib). Mereka yang dikaruniai ilmu ini pun akan terlihat dan nampak karena ilmu tersebut menonjolkannya dikarenakan banyaknya. Maha suci Dzat yang telah memberikan semuanya.

Amal mereka yang hidup di akhir zaman tetap senilai bila ditimbang dengan amal para pandahulunya, karena mereka mengikuti jalan pendahulunya. Ini karena timbangan yang ada adalah amal dan bukan ilmu kepada Allah, dan ilmu kepada Allah akan mempunyai nilai tersendiri

"Itulah karunia Allah yang diberikannya kepada orang yang Ia kehendaki. Allah mempunyai karunia yang agung" (al-Hadid: 21).

Risalah ke lima
Mutiara hikmah Ibnu Arabi

Allah berfirman "Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, Dia berkata kepadanya dan kepada bumi :"Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa", keduanya menjawab :"Kami datang dengan suka hati". Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui" (Fussilat : 11-12).

Allah juga berfirman :

"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasannya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya". (al-Anbiya : 30)

Kata "kemudian" mengisyaratkan bahwa kejadian tersebut terjadi setelah melewati tenggang waktu penciptaan bumi dan kekuatan-kekuatannya selama empat masa, yaitu dua masa untuk penciptaan zat dan fisik bumi, satu masa untuk kelahirnya yang kasat mata dan satu masa untuk isi dan rahasia-rahasianya, atau dua masa untuk memberikannya kekuatan ghaib dan dua masa untuk memberinya kekuatan lahir.

Lalu terjadilah perjalanan suci Allah dalam menyatukan langit dan menciptakannya. "Maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya". Lalu diberikannya kepada langit apa yang diperlukannya untuk perubahan, dari susunan, unsur-usurnya, pergantian dan perubahannya dan perpindahannya dari satu bentuk ke bentuk lainnya, inilah ketentuan ilahi terhadap langit-langit dalam firman-Nya :
"Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya",

yaitu mengenai sisi rohaniahnya, lalu ditampilkannya pergerakan dalam bentuk orbit di atas angkasa untuk membentuk satu susunan sesuai dengan pola peredarannya. Ketika Allah meyatukan langit dari ketercerai-beraiannya lalu berputar, ia tembus pandang sehingga tidak menghalangi terlihatnya apa yang ada di baliknya, maka kita bisa melihat dengan mata kita gemerlapnya lampu-lampu bintang yang berada di langit ke delapan seakan-akan menghiasi langit dunia ini, Allah berfirman :

"Dan Kami hiasi langit yang dekat (dunia) dengan bintang-bintang yang cemerlang".

Hiasan untuk sesuatu, tidak selalu berada di dalamnya.

Adapun maksud dari "pemeliharaan Allah" ialah dengan lemparan batu di atas angkasa untuk menghancurkan mereka dari golongan setan yang hendak mencuri pendengaran, maka Allah memberikan untuk mereka batu yang meluncur, yaitu bintang yang mempunyai ekor, membelah angkasa hingga jatuh ke langit dunia. Meskipun demikian tidak sedikitpun terlihat keretakan hingga menyebabkan kebocoran langit-langit tersebut, demikian hingga mereka kembali dengan hina dan lelah.

Kemudian Allah menciptakan di setiap langit dari ketujuh langit tersebut, bintang-bintang yang senantiasa beredar

"Semuanya beredar sesuai dengan garis edarnya" (al-Anbiya:33).

Demikianlah sebenarnya kegiatan angkasa tidak lain pergerakan bintang-bintang bukan pergerakan langit-langit. Pergerakan-pergerakan tersebut terlihat meskipun berada di langit tertinggi, Allah berfirman "

Dan aku hiasi langit dunia", karena mata manusia tidak akan mampu melihat kecuali apa yang ada di langit dunia, itulah mengapa Allah mengungkapkannya dengan kata "menghiasi" tidak dengan kata "menciptakan". Perhiasan tidak selalu merupakan bagian dari sesuatu yang dihiasinya, bala tentara dan kuda merupakan perhiasan kekuasaan namun keduanya berdiri sendiri.

Begitu pula lah, ketika telah sempurna bangunan manusia dan ia mampu berdiri tegak dan Allah telah Menghembuskan keagungan maka terjadilah sebutan untuknya sebagai manusia karena kesempurnaannya dalam menerima rahasia ilahi yang tidak pernah diterima oleh mahluk lainnya. Di sinilah mengapa manusia berhak menempati dua maqam, yaitu maqam "syurah" (simbol) dan maqam "khilafah" (kekuasaan).

Demikian pula, ketika telah sempurna tubuh (manusia yang laksana) bumi, dan telah diberikan kepadanya kekuatan khusus sebagai mahluk yang tumbuh, seperti kekuatan menarik, mencerna, menahan, menolak, tumbuh, menghidupi dan telah disatukan untuknya ketujuh lapisan tubuhnya, yaitu kulit, daging, lemak, keringat, persendian, otot dan tulang, maka naiklah rahasia ilahi yang mengalir di dalamnya melalui sela-sela rohaniahnya menuju alam yang lebih tinggi di atas badaniyahnya, mirip kabut yang naik menembus tujuh langit, yaitu langit dunia yang penuh bintang-bintang dan lampu-lampu seperti kedua mata, kemudian langit hayalan, langit fikiran, langit akal, langit kenangan dan zikir, langit ingatan dan langit keraguan.

Ketika Allah mewahyukan kepada setiap langit urusannya, maksudnya adalah memberikan kepada mata kemampuan melihat sesuatu, kita tidak mampu membahas kaifiyahnya, bagaimana itu terjadi. Kita memahaminya, namun pemahaman kita tidak mampu menghilangkan perbedaan Allah dari alam yang kita lihat, dari khayalan kemustahilan dan dari apa yang mampu dibuat oleh akal kita. Demikian di setiap langit ada yang menyerupainya yang sejenisnya dan penghuni setiap langit tercipta darinya. Mereka terpengaurh kepada keadaan dari tempat ia berada. 

Allah menciptakan di setiap langit bintang yang beredar di samping juga menciptakan bintang-bintang yang bergerak, itulah sifat-sifat seperti hidup, mendengar, melihat, kuasa, iradah, kehendak, mengerti dan berbicara. Semuanya berjalan sampai masa yang ditentukan. Kekuatan tidak akan melewati apa yang telah menjadi kemampuannya, mata tidak akan mampu melihat kecuali apa yang terlihat, demikian hingga ia kembali dengan hina dengan tanpa menemukan setetespun kebocoran. Akal manusia membenarkan itu semua, dibuktikan oleh ufuk yang ada dalam diri manusia, semuanya atas kehendak Yang Maha Mulia dan Maha Mengetahui.

Inilah perjalanan mahluk-Nya yang membuktikan keagungan-Nya dan mengantarkan kepada terbukanya alam teratas. Mengapa disebut perjalanan yang artinya "terang", karena ia membuka dan menunjukkan akhlaq seseorang, artinya perjalanan akan menampilkan apa yang dimiliki setiap manusia dari akhlaq yang mulia dan tercela. Maka ketika dikatakan perempuan itu terang mukanya, artinya terbukalah parasnya dan terlihat cantik dan buruknya. Allah berfirman "Demi subuh apabila ia mulai terang" (al-Muddatsir : 34) artinya subuh mulai tampak oleh penglihatan. Orang arab juga mempunyai kebiasaan bila ingin mengetahui apakah perempuan menyimpan aib yang dilakukannya, dari raut mukanya yang memerah atau berubah. Allah berfirman "Dan Allah berkata benar dan Ia menunjukkan jalan yang benar" (al-Ahzab : 4).

Risalah ke enam
Mutiara hikmah Ibnu Arabi

Perjalanan al-Qur'an

Allah berfirman "Sesungguhnya Aku telah turunkan al-Qur'an di malam Lailatul Qadar"(al-Qadr:1) "Sesungguhnya Aku telah turunkan al-Qur'an di malam yang penuh berkah" (al-Dukhan:3).

Para ahli tafsir mengatakan bahwa maksud dari ayat tersebut bahwa al-Qur'an diturunkan secara keseluruhan ke langit dunia kemudian diturunkan secara bertahap ke dalam hati Muhammad s.a.w. Kejadian ini terus berulang dan tak akan pernah berhenti selama al-Qur'an dibaca, baik secara diam-diam atau terang-terangan. Hakekat Lailatul Qadar bagi hamba Allah adalah kejernihan dan kebersihan, itulah mengapa Allah mensifatinya "pada malam itu dijelaskan segala perkara yang penuh hikmah".

Demikian halnya nafsu, diciptakan di dalamnya perkara-perkara yang penuh hikmah, dibisikkan kepadanya kedurhakaan dan ketaqwaannya. Hati manusia ibarat langit dunia yang diturunkan kepadanya al-Qur'an secara keseluruhan, lalu perlahan menjadi jelas dan terang tergantung kepada penerimanya. Mereka yang menerima dengan matanya tidak sama dengan mereka yang menerima dengan telinganya. Arti bahwa al-Qur'an diturunkan secara keseluruhan ke dalam hatimu, tidak berarti bahwa engkau telah hafal dan merasakannya. Namun artinya bahwa al-Qur'an itu telah kau miliki dan ada pada dirimu, hanya saja kamu tidak mengerti dan tidak menyadarinya. Langit dunia pun demikian, ketika turun kepaanya al-Qur'an, tidak berarti ia menjaga nash-nashnya. Ini permasalahan rohani.
Kemudian bagaimana al-Qur'an turun ke dalam hatimu secara bertahap? 

Adalah dengan terbukanya tabir yang menyelimuti dan menutupimu. Aku telah menyaksikan itu dalam diriku sendiri dan aku juga telah menyaksikan itu terjadi pada guruku, Abul Abbas al-Uraini dari Andalusia barat yang termasuk orang-orang tinggi dan juga mendengar itu dari banyak orang-orang yang mengikuti jalanku. Mereka menghafalkan al-Qur'an atau ayat-ayatnya dengan tanpa bimbingan guru melalui pengajaran yang biasa kita lihat. Mereka menemukan al-Qur'an dari dalam hatinya, berbicara dengan bahasa al-Qur'an, bahasa Arab seperti yang ada dalam mushaf-mushaf kita, meskipun yang menerimanya orang a'jam (asing yang tidak berbahasa Arab). Diriwayatkan oleh Abu Musa al-Dhibali bahwa Abu Yazid al-Busthami meninggal setelah menemukan bahwa al-Qur'an muncul di hatinya dengan tanpa dibimbing oleh guru ngaji.

Lantas bagaimana al-Qur'an senantiasa turun dan terus menerus turun ke dalam hati hamba-hamba, adalah karena kejadian itu tidak mungkin terjadi dalam dua masa yang berbeda dan kejadian itu juga tidak mungkin berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Bukankah hafalan yang dimiliki Zaid tidak mungkin berpindah ke Amir. Ketika telinga mendengarkan suara yang membacakan ayat, maka Allah menurunkan ayat tersebut ke dalam hati pendengarnya agar ia menyadari dan menjaganya. Apabila hati tersebut sibuk, maka sang pembaca pun mengulangi bacaannya dan kembalilah al-Qur'an itu turun. Begitulah al-Qur'an turun secara terus menerus dan abadi. Kalau ada orang yang berkata "Allah telah menurunkan al-Qur'an kepadaku" sesungguhnya ia tidak berbohong, karena al-Qur'an senantiasa melakukan perjalanan ke dalam hati dan sanubari hamba-hamba yang menjaganya.

Mengapa Rasulullah s.a.w. ketika datang Jibril kepadanya membawa al-Qur'an.beliau serta merta membacanya bahkan sebelum wahyu itu selesai? Ini karena kuatnya kemampuan batin beliau, hingga mampu menembus apa yang sedang dibawa Jibril a.s. lalu membacanya dan lisannya tergesa-gesa membacanya sebelum wahyu itu selesai. Tidak ubahnya seperti ketika kamu bicara dari apa yang tiba-tiba terbersit di hatimu. Ini sangat sering terjadi pada kita, namun apa yang terjadi pada Rasulullah tentu lebih tinggi dan lebih cepat dari kita. Meskipun demikian, Allah tetap mengajari beliau dengan tata cara yang terbaik "dan janganlah kamu (Muhammad) tergesa-gesa membaca al-Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukan kepadamu". Allah mengajari beliau bersopan santun kepada Jibril a.s. karena dia lah yang mengajarinya kata-kata yang benar dan indah dengan amal shalih.

Maka sesungguhnya manusia yang sempurna tidak lain adalah al-Qur'an itu sendiri. Ia datang dari dirinya menuju malam yang penuh berkah. Malam itu ghaib dan langit-langit dunia adalah tutup keagungan yang paling rendah, di sana ada penerang dan pembeda, yaitu bintang-bintang. Tergantung hakekat ilahiyah untuk memahaminya. Ia menunjukkan hukum-hukum yang berbeda-beda. Manusia yang memhami itu semua. Bintang-bintang itu senantiasa turun ke dalam hatinya, hingga kemudian menyatu lalu sirnalah dan terbukalah hijab itu, hingga sirnalah ia dari ketentuan "dimana" dan "apa" dan hilanglah keghaiban.

Al-Qur'an yang diturunkan adalah kebenaran, sebagaimana Allah menyebutnya kebenaran, setiap kebenaran adalah hakekat dan hakekat al-Qur'an adalah manusia itu sendiri. A'ishah r.a. pernah ditanyai tentang akhlaq Rasulullah s.a.w, ia berkata "Akhlaq Rasulullah adalah al-Qur'an". Ulama berkata, sesungguhnya A'isyah mengatakan firman Allah "Sesunggunya kamu (Muhammad) berakhlaq mulia" (al-Qalam:4).

Renungilah perjalanan ini, engkau akan terpuji di ujungnya.

Risalah ke tujuh
Mutiara hikmah Ibnu Arabi

"Perjalanan melihat Allah"

"Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesunguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (al-Israa' :1).

Allah s.w.t. memulai kisah Israa' dengan tasbih (pensucian) untuk menghilangkan semua keraguan yang muncul dari orang-orang yang meragukan, mempersamakan dan membendakan-Nya. Sebab itu Allah menegaskan dengan ungkapan "agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami".

Allah memperjalankannya semata karena kehendak-Nya, sebagai karunia dan kepedulian-Nya dan itu belum pernah terbersit sebelumnya di hati Rasulullah.

Mengapa perjalanan itu dilakukan pada malam hari? Agar sesuai dengan kekhususan beliau dengan maqam "mahabbah", kecintaan, karena Allah telah menjadikannya kekasih yang dicintai-Nya. Kemudian ditegaskan dengan kata "malam", padahal isra' adalah perjalaan malam agar menepis keraguan dalam hati orang-orang yang ragu bahwa Isra' hanya dengan ruh beliau atau kemungkinan Isra' terjadi pada siang hari. Itulah kelebihan al-Quran, meskipun diturunkan dengan bahasa Arab, namun ia teruntukkan semua bahasa.

Malam adalah saat terindah bagi dua pemadu kasih, karena malam mampu menyatukan keduanya. Khalwat atau menyendiri dengan kekasih lebih bermakna di malam hari, agar bisa melihat tanda-tanda ilahiyah dengan cara yang lebih khusus, karena mata tidak akan bisa melihat sesuatu dengan cahaya yang ia pancarkan sendiri, sebab ia akan melihat kegelapan. Kemudian datanglah cahaya yang menjadikannya mampu melihat sesuatu, namun itu bila cahaya tersebut tidak mengalahkan kekuatan cahaya mata. Bila cahaya itu terlalu kuat sehingga mengalahkan cahaya mata, maka mata pun kembali kepada kegelapan karena tidak melihat kecuali cahaya itu, seperti mata yang tidak melihat apapun dalam kegelapan kecuali kegelapan itu sendiri. Mata hanya bisa melihat dengan cahaya yang sedang, sehingga ia bisa melihat cahaya tersebut dan apa-apa yang tersinari oleh cahayanya. Itulah rahasia perjalanan Rasulullah dalam Mi'raj di malam hari, agar nampak olehnya tanda-tanda kebesaran Allah.

Perjalanan itu dimulai dari Masjidil Haram sampai ke Masjidil Aqsha. Masjid adalah tempat sujud seseorang, sujud adalah ibadah. Al-Haram maknanya mencegah dan melindungi. Di situ lah tersimpan makna hakiki dari ibadah, yaitu mencegah dan melindungi. Kemudian dijelaskan bahwa perjalanan itu sampai ke Masjidil Aqsha. Al-Aqsha berarti yang terjauh. Dengan demikian yang dimaksudkan adalah Ibadah sampai ke batas terjauh yang merupakan salah satu sifat-sifat ketuhanan. Itulah mengapa Allah memilih nabi-Nya untuk menjalani dua rantang ibadah tersebut, sehingga mengantarkannya memiliki sifat mahluk termulia, dengan ibadah yang menyeluruh yang memberikannya ma'rifat yang sempurna.

Demikianlah, seorang hamba ketika ia diangkat di atas semua yang wujud dan ketika ia dimuliakan, maka dibersihkanlah kehambaannya dari sifat-sifat ketuhanan dan ketuanan. Dan ketika kehambaan seorang hamba diberi sifat-sifat ketuhanan, maka ia telah dipersamakan dengan tuhannya dan pada saat itulah ia akan menemukan kahancurannya. Allah berfirman "Rasakanlah (siksaan itu, wahai orang-orang yang berdosa) bukankah engkau adalah orang-orang yang mulia lagi bijaksana" (al-Dukhan : 49).

Risalah ke delapan
Mutiara hikmah Ibnu Arabi

"Perjalanan Melihat Allah" (2)

Allah berfirman "Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang" (Mu'min:25). Demikianlah sifat ketuhanan apabila diterapkan kepada hamba bukan berarti akan menunjukkan kemuliaan dan ketinggiannya, karena di sini terjadi penyamaan dari apa yang semestinya dimiliki oleh hamba berupa memerlukan menjadi apa yang semetinya dimiliki oleh Ilahiyah berupa pemberian.

Demikian apa yang terjadi dalam kisah Isra', kehambaan yang dimiliki oleh Rasulullah sudah sedemikian sempurna, bahkan telah dinisbatkan kepada Allah, yaitu sebutan "hamba-Nya", maka hak dari Ketuhanan adalah memberinya imbalan kepadanya dengan megangkatnya menembus keghaiban dari Yang Ghaib. Ketika turun kehambaan Rasulullah s.a.w. hingga ke tingkat hamba yang haqiqi, maka diangkatnya ia ke atas kemuliaan ghaib. Dari sini beliau menyaksikan kebenaran sebagai perseorangan. Cinta akan membangkitkan rasa memiliki, sehingga tidak lagi bisa memberikan. Seorang hamba mungkin mampu memberikan, namun ia telah terbatasi, maka di sana tidak nampak olehnya apapun kecuali nama Dzat yang Maha Gahib itu.

Ketika wahyu diturunkan kepada Rasulullah untuk Isra', maka itu adalah ajakan bercengkerama, karena datang di malam hari. Bercengkerama adalah pembicaraan yang paling tinggi, karena di dalamnya mengandung ungkapan-ungkapan manis, mengandung petuah mengajak kepada kedekatan yang murni.

Tanda-tanda yang disaksikan oleh Rasulullah s.a.w. sebagian nampak di atas ufuk dan sebagian lagi ada dalam dirinya. Allah berfirman "Akan aku tunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri" (Fussilat : 53), "Dan di dalam dirimu (terdapat tanda-tanda kebesaran Allah) apakah kalian tidak menyaksikannya" (al-Dzariyat:21). Kedekatan (Jibril) kepada Rasulullah s.a.w. sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi (An-Najm:9) merupakan tanda-tanda yang nampak di ufuk yang membuktikan keberadaan maqam hamba dari Tuhannya dan menunjukkan maqam kecintaan (mahabbah) dan kedekatannya kepada Allah, "Lalu dia (Jibril) menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan", inilah maqam bercengkerama dengan Yang Maha Ghaib.

Allah pun menegaskan "Nurani tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya" (An-Najm:11). Nurani yang diungkapkan dengan kata "fuad" adalah hati dari hati (qalb). Nurani bisa melihat, demikian hati bisa melihat. Hati bisa melihat mulai dari kebutaan lalu ia menerima kebenaran yang ditunjukkan dan didekatkan kepadanya, sesuai firman-Nya "Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada" (al-Hajj: 46). Nurani tidak akan pernah buta karena ia samasekali tidak berhubungan dengan mahluk, ia hanya behubungan dengan Tuhannya, dan dia berhubungan dengan Tuhannya semata melalui jalan ghaib yang paling tinggi, sesuai dengan maqam dan tingkatannya.

Itulah mengapa Allah menegaskan "Nurani tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya" (An-Najm:11). Sering mata salah melihat, meskipun ungkapan ini hanya dari orang yang bodoh semata, karena yang salah melihat adalah pengendalinya bukan apa yang dilihat oleh panca indera. Mereka yang berkata mata telah salah lihat karena tidak sesuai dengan hakikat, maka ini berarti membohongi pemilik mata, karena sifat bohong tidak pernah terjadi pada mata.

Hamba yang ada pada kisah Isra' di atas, adalah hamba yang benar-benar hamba, yang disucikan dalam kehambannya. Begitu juga tentang Yang Maha Ghaib adalah puncak dari keghaiban. Tanda-tanda yang dilihatnya dalam dirinya, merupakan cernaan dari kehambaan hamba terhadap kaghaiban ghaib dengan menggunakan mata nurani, maka tidak ada seorangpun yang melihatnya. Sedangkan tanda-tanda yang ada di ufuk adalah apa yang dilihat oleh Rasulullah s.a.w. pada bintang-bintang, langit, tangga-tangga naik, derikan Qalam, Singgasana dan Sidratul Muntaha. Ini semua menunjukkan bagaimana maqam hamba yang telah dikhususkan oleh Yang Maha Ghaib.

Allah mengingatkan "(Masjidil Aqsha) yang Kami Berkahi apa sekelilingnya". Allah tidak menyebutkan berkah Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha itu sendiri, karena sudah jelas, keduanya merupakan tempat berduyun-duyunnya manusia karena kemuliaannya. Masjidil Haram kepada Masjidil Aqsha ibarat Sorga dan Neraka, "Sorga senantiasa dikelilingi dengan hal yang dibenci" seperti firman Allah: "Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok" (al-'Ankabut:67). Dan "Neraka senantiasa dikelilingi dengan nafsu syahwat", seperti firman Allah "Masjidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya".

Buah dari kisah perjalanan di atas adalah menyaksikan Yang Maha Ghaib. Allah berkata benar dan menunjukkan jalan yang benar.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan