Isnin, 20 September 2010

SUFI YOGA .....Tariqat Naqsabandi...........



Salam saudara pembaca budiman.

Fakir sertakan satu lagi artikel berkaitan TAFAKUR / MEDITASI yang dipetik dari lamanweb nurmuhammad untuk bacaan saudara sekalian...Selamat membaca.

Fakir.......

.....................................................................

Sufi Yoga


{Yoga – adalah hubungan (komunikasi) ruhaniah seseorang dengan al Haqqu.

Itu juga methoda yang digunakan untuk mencapai komunikasi (penyatuan) itu.}

Oleh Shaykh Hisham Kabbani

Posisi Shalat

Gerakan pelaku shalat memberi ciri pelakunya dengan semua bentuk ciptaan,
karena bentuk posisi pelaku shalat didesain untuk mengingatkan dia tentang kematian
(kefanaan) dan perjalanan melalui berbagai tahap kehidupan. Gerakan itu juga
menyerupai naik dan turunnya benda-benda langit, demikian juga dengan perputaran
planets pada sumbunya dan lintasan (revolusi) rembulan, planet dan bintang/
matahari. Ini adalah tanda-tanda yang memperagakan sifat hirarkhi alamiah
ciptaan dan ketaatannya kepada aturan ilahiah pada setiap tahap, sebagaimana
dinyatakan dalam al Quran :

Di antara tanda-tanda Nya adalah malam dan siang, dan matahari dan rembulan.
Jangan memuja matahari dan rembulan, tapi pujalah Allah, Yang menciptakan
mereka, jika kamu ingin mengabdi kepada Dia.

Selanjutnya Allah menarik perhatian kita pada sifat berserah-diri mereka, dengan
mengatakan:

Tidakkah sudah engkau lihat bahwa dihadapan Allah bersujud siapapun di langit dan
siapapun di bumi, dan matahari, dan rembulan, dan bintang-bintang, dan bukit-bukit,
dan pepohonan, dan binatang, dan banyak bangsa manusia?

Posisi pelaku shalat, kemudian, adalah simbol hubungan kepada Allah,

• Ketika mereka bergerak dari posisi berdiri sebagai pernyataan keberadaan dan
kekuatan,
• Kepada (posisi) ruku’ yang memperagakan kepasrahan dan penghambaan,
• Kepada (posisi) sujud di hadapan Wajah Allah tenggelam dalam
Kebesaran dan Kekuatan dan bersesuaian dengan kesadaran nya ytidak ada apa-apanya (ketidak beradaan yang paling rendah).
• Dari posisi memperhina diri yang paling rendah, sang pelaku shalat kembali kepada posisi antara, antara penihilan dan bebas (tak bergantung), untuk duduk di antara kedua tangan Nabi Muhammad (s.a.w.), menyapa seorang yang menjadi perantara antara Allah dengan makhluq Nya.
• Nabi (s.a.w.) berdiri pada Maqam Abdi Sempurna dan adalah contoh
sempurna dari kondisi pengabdian kepada Allah.
• Tidak seperti makhluq lainnya, Nabi Muhammad (s.a.w.) bebas dari segala
macam keinginan pribadi, larut ke dalam Hadhirat Allah.

Kemanapun kamu menghadap, disitulah kehadiran Allah.

Karena Allah adalah Maha/Selalu Hadir, Maha Tahu.

Puncak Shalat adalah Sujud [Meem]

Nabi (s.a.w.) mengatakan, Tidak satupun yang membawa abdi Allah lebih dekat kepada
Hadhirat Allah dari pada sujud tersembunyinya (al-khafi). [Dalam Sujud Raga adalah
seperti sebuah Singgasana dan Ruh adalah Raja Yang Duduk di Titik Tertinggi
/Qalbu ]

Nabi (s.a.w.) juga mengatakan, Setiap orang beriman yang bersujud (mensujudkan
dirinya), akan ditingkatkan (maqamnya) satu derajat oleh Allah. Tentang terdiri atas apa satu derajad itu, ketahuilah bahwa itu bukanlah sesuatu yang kecil, karena setiap surga dapat terdiri atas satu derajat.

Untuk alasan inilah, banyak di antara para orang saleh melakukan banyak sujud sunnah
tambahan kepada Allah, setelah menyelesaikan shalat fardhu mereka. Setiap kali mereka menemui sebuah kesulitan, apakah urusan spiritual atau keduniawian, mereka mencari perlindungan kepada Rabb mereka melalui sujud mereka kepada Nya.

Seseorang harus membabat kebanggaan pribadi dan membuat diri pribadi sujud, karena
seseorang yang bersungguh-sungguh berserah diri kepada Rabb nya tidak lagi dapat
berserah diri kepada dirinya sendiri. Sekali keadaan itu tercapai, shalat adalah semata-mata untuk Allah.

Itulah sebabnya Nabi s.a.w. mengatakan, Apa yang sangat saya takutkan bagi
Ummatku adalah syirk tersembunyi. Yang beliau takutkan bagi ummatnya bukanlah
syirk dzahir (penyembahan berhala), karena beliau diberitahu Allah bahwa ummatnya
terlindung dari hal itu selamanya, namun syirk tersembunyi, yang segala sesuatu terkait untuk kepentingan pamer.

Seseorang datang dan bertanya kepada Nabi s.a.w., Ya Nabi Allah, doakan saya agar
berada di dalam syafaatmu di Hari Pengadilan dan karuniakanlah saya keberadaan dalam
lingkunganmu di Surga. Nabi s.a.w. menjawab, saya akan melakukan itu, tetapi bantu aku dalam hal itu. Orang itu bertanya, Bagaimana itu? Nabi s.a.w. menjawab, Dengan sering bersujud [di Hadhirat Allah].

Nabi s.a.w. bercerita bahwa pada Hari Pengadilan, ketika mukminun bangkit dari kubur
mereka, malaikat akan mendatangi mereka untuk membersihkan debu dari dahi mereka.
Namun, meskipun para malaikat sudah berusaha sebaik mungkin, sebagian dari debu
akan tetap nempel. Kedua pihak, baik sang beriman dan malaikat yang menolong mereka
akan terkejut bahwa debu ini tak dapat dibersihkan. Maka sebuah suara akan terdengar,

Biarkanlah debu itu dan janganlah mencoba membersihkannya, karena itu adalah
debu tanda posisi sujudnya, jadi akan dikenal di dalam Surga bahwa mereka adalah
abdi Ku yang bersunguh-sungguh .

Hadits Nabi (Tradisi Nabi) ini mengisyaratkan nilai ruhaniah (spiritual) dari sujudnya orang beriman, membuat bahkan debu yang tersentuh oleh dahinya menjadi lambang kesucian (sakral). Kekuatan shalat memiliki efek yang sama pada titik tempat terjadinya sujud itu, sebagaimana dicontohkan dalam riwayat Perawan Suci Mariam, yang disebutkan di dalam al Quran:

Kapanpun (Nabi) Zachariah (a.s.) memasuki tempat shalat (beribadah) di mana dia
(Mariam) berada, dia (Nabi Zakari) mendapati bahwa dia (Mariam) mempunyai
makanan. Dia berkata: Y Mariam! Darimana datangnya (makanan) kepada mu ini?
Dia menjawab: Itu dari Allah. Allah memberikan tanpa batas kepada siapapun yang
Dia kehendaki.

Disinilah, di dalam tempat suci Perawan Mariam, dimana dia biasa menerima jatah
(ransom) hariannya dalam bentuk buah di luar musimnya, Nabi Zachariah a.s. bersujud
diri dihadapan Allah dan memohon Allah untuk dikaruniai keturunan, dan disitulah Allah mengabulkan permohonannya itu.

Tempat dimana seorang Sufi sujud akan menjadi saksi bagi pengabdiannya pada Hari
Pengadilan. Adalah untuk alasan inilah, sering terlihat para Sufi berpindah lokasi
shalatnya, sewaktu shalat fardu di tempat yang satu dan kemudian pindah ke tempat lain untuk melakukan shalat sunnah.

Ibn Abbas, seorang kemenakan Nabi s.a.w. dan seorang pentafsir besar al Quran pada
masa awal, berkata, Ketika Allah memerintahkan Adam s.a. untuk turun ke bumi, segera
setelah dia sampai, dia langsung bersujud, memohon ampunan Allah untuk dosa yang
telah diperbuatnya . Allah mengirim Malaikat Jibril kepada nya setelah empat puluh
tahun berlalu, dan Jibril a.s. mendapatinya masih dalam posisi bersujud. Dia tidak pernah mengangkat kepalanya untuk empatpuluh tahun dalam taubat sesungguhnya dan terasa di dalam qalbu, dihadapan Allah.

Kitab Suci al Quran memberi tahu kita bahwa, setelah Allah menciptakan Adam, Dia
memerintahkan para malaikat untuk bersujud di hadapan manusia pertama itu.

Ketika Kami berkata kepada para malaikat, sujudlah kalian kepada Adam, mereka
bersujud, tetapi tidak Iblis [Syaithan]: dia menolak.

Imam al-Qurtubi, salah seorang pentafsir besar Al Quran, menulis dalam tafsirnya, at-
Tadhkira, bahwa seorang dari empat Archangels, Rafael, telah menuliskan seluruh al
Quran pada dahinya.

Allah telah memberikan Rafael ilmu tentang al Quran dan menuliskan keseluruhannya di
antara kedua matanya, dan dia adalah malaikat yang menukilkan nasib segala sesuatu di dalam Kitab Yang Terlindungi (lauwhul mahfudz) sebelum itu semua diciptakan.

Nama Rafaels dalam bahasa Arab, yang berbeda dari nama Assyrianic nya Israfil,
adalah Abdur-Rahman, abdi dari ar-Rahman. Thema tentang kasih sayang (dari
Rahman) ini merendam (membanjiri) pemikiran Islam, karena lantaran Kasih Sayang
Allah lah maka Kitab Suci al Quran diturunkan kepada Nabi s.a.w., yang tentangnya ar
Rahman berkata

: Kami tidak mengirimkan kamu kecuali sebagai kasih sayang bagi seluruh alam
(ciptaan).

Ketika Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Nabi Adam a.s., Israfil adalah yang pertama kali mematuhi perintah itu, bersujud dan meletakkan dahinya, yang memuat seluruh al Quran, pada bumi, karena menghormati dan memuliakan Adam a.s., karena dia menangkap bahwa seluruh al Quran (juga) tertulis pada dahi Nabi Adam a.s. [Nur Muhammad (S)].

Para pentafsir lain mengatakan para malaikat bersujud di hadapan Adam a.s. karena
mereka merasakan Nur Muhammad bersinar dari tubuhnya. Sesungguhnya disini tidak
terdapat perbedaan, karena Allah berkata dalam Kitab Suci al Quran:

Yasin, dengan al Quran, yang penuh Kebijakan.

Nabi Muhammad berkata bahwa Yasin, Surat ke 36 dari Kitab Suci al Quran juga
salah satu nama yang diberkahi, adalah jantung al Quran, al Quran sama yang
Nabi bawa di dalam dadanya.

Jadi, cahaya yang bersinar dari Adam a.s. adalah Nur Muhammad dalam dirinya, yang
sesungguhnya bergemilang dengan Sabda Allah Maha Suci.

Makna – Qalbu dari berbagai Posisi Berbeda dalam Shalat

Shah Waliullah ad-Dihlawi berkata :
Tahulah bahwa seseorang kadang digerakkan/dipindahkan, secepat halilintar, ke Hadhirat Ilahi, dan mendapati dirinya melekat/lengket, dengan kelengketan terbesar yang mungkin, kepada Hadhirat Ilahi.

Disana turunlah kepada orang itu Tajjali Ilahiah yang menguasai ruhnya. Dia melihat dan merasa hal-hal yang lidah manusia tidak mampu mengungkapkannya. Sekali situasi
nur/cahaya seperti itu berlalu, dia kembali kepada kondisi nya semula, dan mendapati
dirinya tersiksa oleh hilangnya kenikmatan seperti itu tadi.

Maka dia berusaha untuk meraih kembali apa yang telah lari (hilang) darinya itu, dan menyesuaikan dengan kondisi dunia bawah ini, yang paling mendekati keadaan terserap dalam ilmu Sang Pencipta. Ini adalah bentuk/posisi kehormatan, ibadah, dan hampir seperti perbincangan langsung dengan Allah, posisi mana disertai dengan tindakan dan kata-kata yang sesuai.

Peribadatan itu intinya terdiri atas tiga unsur:

(1) kerendahan hati (spiritual) sebagai konsekwensi perasaan akan Hadhirat Allah Azza wa Jalla,

(2) pengakuan tentang kemutlakan kuasa Allah dan kerendahan (ketiada-artian) manusia
dengan pengucapan kalmat yang bersesuaian, dan

(3) pengambilan (untuk menyesuaikan diri) bagi bagian tubuh pada posisi pengagungan
yang diperlukan.

Pengagungan yang lebih besar diperagakan dengan meletakkan muka/wajah merata
(pada tempat sujud), dimana wajah seseorang adalah (mewakili) betuk tertinggi dari
ego seseorang dan rasa diri, menjadi begitu rendah sehingga wajah (lambang ego) itu
menyentuh tanah di hadapan sasaran pengabdian itu. [ Kita diciptakan dalam Citra Allah dan dikaruniakan penghargaan tertinggi di Hadhirat Allah, semua hal
yang dikehendaki/diinginkannya dari Kehormatan di Hadhirat Allah. Bersujud meletakkan Kepala Suci kepada Inti dari Cermin Ilahiah, yang dari Nya kamu dibentuk]

Al-Jili berkata:

Rahasia dan makna-ruhaniah dari shalat tidak terhitung, jadi yang diungkapkan disini
hanyalah terbatas untuk ringkasnya saja.

Shalat adalah sebuah symbol dari kekhasan al-Haqq, dan [posisi Alif ] berdiri di dalamnya adalah sebuah symbol dari pernyataan dari kekhasan ummat manusia dalam memiliki sesuatu yang berasal dari asma ul-husna dan Busana Nya, karena sebagaimana Nabi s.a.w. berkata, Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam Citra Nya. [Alif adalah berdiri tegak dan menyimbulkan Langit, pada awalnya terdapat Sang Sejati dan kemudian sebuah bukaan Penciptaan Langit-langit - Alif membuka kepada Alif, Lam/Kerajaan, Fa/Fatiha.]

• Kemudian berdiri menghadap Qiblah adalah sebuah tanda tearah universal dalam pencarian al Haqq. [ Kami adalah seperti
Elektron yang mengitari Pusat Inti, kami berada dibawah
otoritas/kewenangan 4 kekuatan dari atom/adam karena itulah
terdapat 4 Takbir. Pusat Inti adalah Ka’bah dan kami adalah
electrons]
• Di dalam itu terdapat tanda sambungan qalbu ke arah situ (Ka’bah). Bukaan pengagungan Allahu Akbar (takbir) adalah sebuah tanda bahwa Hadhirat Ilahi adalah lebih besar dan lebih luas berkembang dari pada apa yang dapat berwujud kepadanya, karena tiada satupun yang dapat membatasi perspektifnya. Meskipun demikian, itu lebih luas dari setiap perspektif atau visi yang menjelma kepada abdi itu, karena hal itu sesuatu yang tanpa akhir.

Pembacaan Surat Pembukaan, al-Fatihah,

• Adalah sebuah tanda keberadaan Kesempurnaan Nya di dalam manusia, karena
manusia adalah awal pembukaan dari penciptaan, karena Allah memulai ciptaan
oleh Nya ketika Dia membawanya dari ketiadaan, ciptaan pertama.
• Apa yang dimaksud al-Jili adalah Nur Muhammad, yang dikenal juga sebagai
Pikiran Pertama, Manusia Universal, dan Mikrokosmos dari Makrokosmos.

Dia melanjutkan :

[Ha Al-Hayat ]Kemudian adalah ruku, yang merupakan sebuah tanda/indikasi pengakuan ketiadaan semua ciptaan dibawah keberadaan pancaran ilahiah dan kekuatan. [ Fana dan Hamd/Pujian]

Kemudian Berdiri Kembali dalam shalat adalah sebuah tanda dari maqam hidup berkelanjutan (subsistense) (al-baqa). [Alif adalah Tegak dan menjadi symbol Langit, pada awalnya adalah Sang Sejati dan kemudian sebuah bukaan dari Ciptaan dari Dunia Bentuk - Alif membuka ke Alif, Lam/kerajaan Fa/Fatiha.]

Maka, seseorang dalam shalatnya bilang,

Allah mendengar seseorang yang memuja Nya (ketika bangkit dari
ruku’),

Sebuah tanda dari hidup berkelanjutan adalah bahwa dia adalah Khalifah dari al Haqq. Dengan cara ini, Allah menyatakan tentang Diri Nya dengan Diri Nya dengan menyampaikan tentang mendengar kebenaran melalui pemujaan oleh ciptaan Nya. [ Nabi adalah Li wal Hamd /Bendera Pemujaan]

[Meem] Sujud adalah sebuah ptentang pemusnahan ciri kemanusiaanpenihilan mereka sebelum manifestasi tanpa akhir dari pensucian kesejatian.

Duduk di antara dua sujud adalah sebuah indikasi tentang mendapatkan hakikat dari asma ul husna dan Attribut (Busana). Ini adalah karena duduk itu diposisikan secara
kuat pada sebuah tempat sebagaimana dimaksud oleh ayat di
mana Allah berkata :

Ar Rahman didudukkan pada Singgasana (Surat Sajda ayat 4)

Sujud kedua adalah sebuah indikasi dari maqam abdi dan itu adalah daur (balik) dari al Haqq kepada ciptaan.

Sapaan [pada Nabi s.a.w.] adalah sebuah indikasi tentang dapat dicapainya kesempurnaan manusia, karena itu adalah sebuah ekspresi tentang pemujaan kepada Allah, Utusan Nya dan abdi Nya yang shalih (atau siddiq/ righteous). Ini adalah
maqam kesempurnaan, karena Aulia itidaklah sempurna kecuali dengan pencapaiannya kepada al Haqq, mkesatuannya dengan Rasul s.a.w. dakesatuannya dengan semua abdi Allah. u Dua kalimat shahadat adalah La ilaha ill-Allah, tiada tuhan kecuali Satu Allah dan Muhammadun Rasulullah, dan Muhammad adalah Utusan Allah.

Ulama berkata bahwa La ilaha ill-Allah mewakili Sang Pencipta dan Muhammadun
rasulullah symbol dari seluruh ciptaan.

Sebuah shalat dapat dianggap sebagai sebuah komunikasi ganda : pertama antara peshalat dengan Allah, kedua antara peshalat dengan abdi sempurna Allah, Nabi Muhammad
s.a.w., penghulu para Rasul dan Nabi. Jadi satu bagian dari shalat adalah sebuah
komunikasi dengan Allah, melalui cara Kalimat Suci Allah yang diungkapkan dalam al
Quran dan melalui ruku’ dan sujud, membaca pengagungan, pembesaran dan pepujian
bagi Allah.

Bagian lain adalah menyapa (mengucapkan salam kepada) Nabi, di mana pelaku
shalat menyapa langsung secara pribadi kepada Nabi s.a.w., sebagai pemimpin para
peshalat dan kaum beriman, diikuti dengan memohon barakah Allah bagi beliau dan para
keluarganya.

Kenyataan ini sesungguhnya mencerminkan dasar pemikiran (doktrin) bahwa Nabi s.a.w.
telah mencapai puncak keabdian (ubudiyyah) kepada Allah, maka keseluruhan shalat itu
sendiri dibangun di sekitar dirinya. Karena Kalimat Allah yang dibaca adalah kalimat
yang diturunkan kepada Nabi s.a.w. dan selebihnya shalat itu adalah pengakuan atas
kepemimpinan Nabi s.a.w.dan keunggulan spiritual nya baik di dunia ini maupun di alam berikutnya.

Maka para ulama menegaskan bahwa posisi (tubuh dalam) shalat itu adalah indikasi dari maqam Muhammadan, karena posisi fisik itu mencerminkan huruf huruf yang
membentuk nama akhirat Nabi s.a.w., Ahmad, di mana huruf pertama Alif diwakili oleh
posisi berdiri, Ha oleh posisi ruku’, Mim dalam bersujud dan Dal dalam duduk tahiyat.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan